Ads 468x60px

Minggu, 01 Mei 2011

REVIEW BUKU SENJATA ORANG-ORANG YANG KALAH (Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani) JAMES C. SCOTT

REVIEW BUKU SENJATA ORANG-ORANG YANG KALAH
(Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani)
JAMES C. SCOTT
Oleh: Baiq Lily Handayani

Buku weapons of the weak ini merupakan hasil penelitian James Scott pada tahun 1978-1980, di suatu daerah di Kedah Malaysia yang kemudian daerah itu dinamai Sedaka. Penelitian yang dilakukan oleh James Scott selama dua tahun tersebut, meneliti tentang kehidupan para petani padi yang berjumlah sebanyak 70 KK. Dia mengamati pola kehidupan para petani mulai dari bangun tidur hingga dia tidur lagi. Dia berbaur dengan masyarakat setempat dalam acara-acara keagamaan seperti acara kematian, sampai pada acara kelompok pemuda seperti sepak bola.
Penelitian James Scott ini tidak hanya memberikan kita pengetahuan tentang kondisi petani di Sedaka dan juga mekanisme perlawanannya, namun juga tentang metode penelitian yang dapat kita gali dari metodenya mencari data. Metode fenomenologis diterapkannya dalam upaya menggali data-data tentang cara masyarakat mengungkapkan tentang dirinya sendiri. Namun, Scott juga menyadari bahwa pendekatan fenomenologis juga mempunyai bahaya, karena menurutnya hanya sedikit saja yang benar apabila orang berbicara tentang dirinya sendiri daripada jika perilaku itu sendiri yang berbicara mengenai dirinya.
Pola kehidupan masyarakat petani (desa) sebenarnya dihampir setiap daerah mempunyai pola yang sama. Seperti suka menggunjing, memfitnah dan memberi label atau citra yang buruk terhadap seseorang yang menurut mereka sebagai musuh bersama. Biasanya mereka tidak berani melakukan perlawanan secara langsung dan radikal, tetapi lebih bersifat perlawanan simbolik.
Scott memfokuskan perhatiannya pada pertarungan ideologi di kampung itu. Pertarungan antara kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Ia juga merupakan pertarungan mengenai pemaknaan simbol-simbol tentang bagaimana masa lampau dan masa sekarang dipahami dan diberi nama, pertarungan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dan menilai kesalahan-kesalahan, yang kesemuanya adalah upaya untuk memberi makna partisan kepada sejarah setempat. Detail-detail pertarungan ini melibatkan unsur fitnah, pergunjingan dan gossip yang bertujuan merusak nama baik orang lain, julukan-julukan kasar, gerakan tubuh atau sikap berdiam diri tetapi maksudnya merendahkan orang lain.
Sebuah pertarungan jangka panjang yang prosaik, antara petani dan pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan bunga dari mereka. Kebanyakan bentuk pertarungan ini hampir saja menimbulkan tantangan kolektif langsung. Senjata-senjata yang mereka miliki seperti, memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik orang, pembakaran, penyabotan dan sebagainya. Mereka hampir tidak membutuhkan koordinasi atas perencanaan, menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus diri sendiri, dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis secara langsung dengan kekuasaan. Menurut, Scott justeru cara-cara seperti itulah yang paling efektif dalam jangka panjang.
Teknik-teknik low profile dengan demikian sangatlah cocok untuk struktur sosial kelas petani –suatu kelas yang bertaburan di wilayah pedesaan, tanpa organisasi formal dan paling siap untuk melakukan kampanye defensif menghabiskan tenaga lawan dengan gaya gerilya. Tindakan perorangan berupa memperlambat pekerjaan dan mengelak, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan itu diperbanyak ribuan kali, pada akhirnya mungkin menjadikan kebijakan-kebijakan yang diimpi-impikan oleh calon atasan menjadi kacau balau. Mereka menjadikan diri batu karang dan dengan itu mereka menyatakan kehadiran politisnya. Dimana setiap saat kapal yang besar (orang yang berkuasa) bisa saja kandas karenanya.
Scott memulai bukunya dengan kisah tentang Razak dan Haji Broom, dimana kisah-kisah itu bukan hanya sekedar cerita hiburan masyarakat setempat saja, namun lebih dari itu kisah itu merupakan suatu dinamika perang simbol antara orang kaya dan miskin. Rasa permusuhan dalam perang kecil ini, dilakukan di atas arena yang selalu berubah di mana terdapat banyak orang netral yang melihat dari pinggiran saja. Berita-berita perang hampir seluruhnya terdiri dari kata-kata saja, gerak tipu dan kontra gerak tipu, ancaman, satu dua pertarungan kecil dan terutama sekali propaganda.
Cerita-cerita yang beredar tentang Razak dan Haji Broom dapat dipahami sebagai propaganda, yang melambangkan dan memuat keseluruhan argumentasi mengenai apa yang terjadi di kampung itu. Hanya dengan menyebut nama Razak oleh orang kampung yang kaya raya, timbullah suatu visi tentang orang miskin yang mengambil apa saja dan tidak jujur, yang melanggar ukuran yang diterima tentang perilaku yang sopan di kampung itu. Dalam pandangan mereka, Razak adalah model negatif ke arah mana menujunya orang miskin pada umumnya.
Sebaliknya, dengan hanya menyebut Haji Broom saja, langsung timbul suatu visi tentang orang kaya yang sangat rakus, yang juga telah melanggar ukuran-ukuran yang diterima tentang perilaku di desa itu itu. Dalam pandangan mereka, Haji Broom adalah model negatif yang merupakan representasi orang-orang kaya pada umumnya. Bahkan masyarakat desa itu mempunyai label-label atau istilah tersendiri untuk para petani kaya yang dianggap rakus itu. Haji Broom misalnya yang berarti haji sapu, yang berarti Haji yang suka menyapu bersih atau mengambil hak-hak milik orang miskin dengan jalan menjadi lintah darat. Kemarahan masyarakat setempat terhadap para Haji yang tidak mencerminkan status haji yang disandangnya, menguatkan mereka untuk menambahi label-label yang buruk di belakang status Haji mereka, antara lain Haji Broom, Haji Sangkut , Haji Merduk , Haji Karut , Haji Kedekut, Haji Bakhil dan juga menambahi nama yang buruk di belakang nama petani kaya seperti Kadir Ceti. Semua nama-nama itu merupakan kritikan keras dari masyarakat terhadap para haji yang diharapkan seharusnya merupakan orang yang taat terhadap agama, karena salah satu tujuan utama dari ibadah haji adalah membersihkan diri dari dosa dan mempersiapkan diri untuk diadili Allah.
Sebagai ideologi, cerita-cerita itu melambangkan suatu kritik terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya dan juga suatu visi tentang segala sesuatu sebagaimana seharusnya. Cerita-cerita ini dapat dibaca sebagai sejenis teks sosial tentang soal kesusilaan. Karya ideologis untuk memperbaiki dan memperbaharui tatanan masyarakat adalah suatu pekerjaan yang tidak pernah berhenti. Tujuan yang terkandung dalam ideologi-ideologi yang saling bersaing ini bukanlah hanya untuk meyakinkan, tetapi juga untuk menguasai dan mengontrol.
Seandainya kelas kaya dapat diperbaiki dengan cerita-cerita tentang Haji Broom, maka tentu harapan masyarakat agar mereka tidak meminjamkan uang dengan bunga tinggi, mereka tidak akan berniat lagi untuk menguasai tanah dan sawah orang lain, mereka akan menjadi dermawan dengan sedekah dan kenduri keagamaan, dan mereka akan memperkerjakan lebih banyak penyewa tanah dan pekerja. Sebaliknya orang miskin dengan sindiran seperti “Razak”, membuat mereka merenungkan sifat-sifat Razak yang dianggap tidak senonoh itu, maka tentu orang-orang miskin itu tidak akan meminta-minta sedekah dari orang kaya, mereka tidak akan hadir di kenduri di mana mereka tidak diundang, dan mereka akan menjadi pekerja yang setia dan tekun. Namun, sayang sekali perimbangan itu hanyalah simbolis. Bagaimanapun juga cerita-cerita yang memberi peringatan itu memohon kepada si kaya dan si miskin untuk meninggalkan kepentingan materi yang langsung demi menjaga nama baik mereka. Namun, apakah nama baik itu penting bagi mereka?.
Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para petani pada masa itu lebih banyak dilakukan dengan cara-cara simbolis. Tampaknya mereka menyadari bahwa perlawanan mereka akan berhasil bila dapat disembunyikan di belakang topeng kepatuhan umum. Seperti yang dilakukan oleh para petani Jawa yang member nasihat pada anak-anaknya “…ingatlah kamu menjual tenaga kamu dan orang yang membelinya ingin melihat bahwa ia memperoleh sesuatu darimu, jadi bekerjalah apabila ia ada di sekitar tempat itu, lalu kamu dapat bersantai apabila ia telah pergi, akan tetapi yakinkan bahwa kamu harus selalu tampak seolah-olah sedang bekerja ketika para pengawas itu ada di sana”.
Sifat gerakan yang seringkali tidak diumumkan dan tidak bernama seperti itu, menjadikannya sangat sukar bagi pihak lawan untuk memberi peringatan atau menjatuhkan hukuman. Jarang sekali orang yang melakukan tindakan-tindakan kecil itu berusaha menarik perhatian orang kepada dirinya. Sebab keamanan mereka justeru terletak pada anonimitas.
Sifat gerakan kaum tani, telah banyak yang mengalami perubahan khususnya dalam mekanisme perlawanan. Akan tetapi, perlawanan yang khas seperti itu pun masih bisa kita temui, seperti yang terjadi pada kasus petani tetelan di sekitaran Taman Nasional Meru Betiri Kabupaten Jember, mereka sebenarnya menolak untuk menanam tanaman pokok seperti petai, kedawung, trembesi, pakem, kemiri dan sebagainya. Namun, mereka tidak benar-benar berani menolak secara terang-terangan, karena mereka mengetahui hak mereka terhadap tanah Taman Nasional hanyalah hak pakai saja. Apabila mereka menanami tanah tersebut dengan tanaman pokok maka ketika tanaman pokok tersebut telah tumbuh tinggi dan berdaun rimbun maka tanaman mereka seperti jagung, padi gogo dan kacang tanah tidak bisa tumbuh dengan baik karena tidak mendapat cahaya. Dalam prakteknya mereka tetap menanam tanaman pokok tersebut namun tidak pernah disiram, dan agak dicabut agar akarnya tercerabut sehingga walaupun masih terlihat tertanam sebenarnya tanaman itu akan segera mati.
Berdasarkan hasil penelitian dari Budiraharjo (2008), tentang gerakan politik identitas petani tebu dalam asosisasi petani tebu rakyat (APTR) PT. Perkebunan Nusantara XI. Menurut Budiraharjo, petani berusaha menegaskan identitasnya sebagai salah satu stakeholders yang memegang peranan penting di tengah-tengah industry gula. Mereka membangun lokasi perjuangan dan komunitas perlawanan serta ruang politik, dimana mereka mewacanakan isu-isu perjuangan dan stategi untuk mencapai ideal yang dicita-citakan. Mereka berperan sebagai pressure group, yang melakukan strategi konstruksi makna, proses pembentukan identitas kolektif, pembentukan pusat kultur dan gerakan dan pembentukan wacana publik.
Strategi-strategi gerakan kaum tani, memang telah mengalami banyak perubahan. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan lebih terorganisir dan lebih berani menunjukkan identitas kolektif mereka. Tidak seperti hasil penelitian James Scott, dimana para petani cenderung melakukan perlawanan yang tidak menarik perhatian orang dan bersembunyi di balik anonimitas mereka. Bentuk khas perlawanan mereka lebih bersifat diam-diam dan kontra perampasan. Sebaliknya, dalam perkembangan selanjutnya petani lebih berani menunjukkan sikap mereka, bahkan berani membakar tebu mereka sendiri walaupun itu juga beresiko.
Masyarakat juga semakin rasional dalam melakukan tindakan mereka, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hari Yuswadi (1999), tentang komersialisasi tanaman jeruk sebagai bentuk baru dari resistensi masyarakat petani terhadap kebijakan pembangunan pertanian.
Bentuk-bentuk perlawanan kaum tani di Sedaka ini, lebih sebagai sekumpulan tindakan atau perilaku individual . Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus, adalah suatu isu yang kompleks. Hal yang ingin ditegaskan oleh Scott adalah bahwa, pertama, baik intensi maupun aksi bukanlah penggerak yang tidak digerakkan. Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar kembali, untuk mempengaruhi kesadaran, dan dari sinilah timbul intensi dan aksi berikutnya. Jadi aksi perlawanan dan pemikiran tentang perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk yang seluruhnya sama dengan dunia materi sebagaimana perilaku. Adalah mungkin dan biasa bagi pelaku manusia untuk membayangkan suatu garis aksi, yang pada suatu saat, tidak praktis dan tidak mungkin.
“Akan tetapi sepanjang saya berusaha untuk memahami perlawanan “binatang yang dapat berpikir” dan berjiwa sosial yang namanya petani itu, saya tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka –yaitu makna yang diberikan kepada tindak tanduk mereka. Symbol, norma dan bentuk-bentuk ideologis yang mereka ciptakan merupakan latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari perilaku mereka. Betapapun parsial dan tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-aksi mereka”. (Scott, 2000:51-52)
Ibarat panggung, para petani mempunyai panggung depan dan belakang. Mereka dapat berpura-pura sangat baik sekali kepada para petani kaya ketika di hadapannya. Sebaliknya di belakang layar mereka akan menjadi sangat berbeda, bahkan memfitnah, menjelek-jelekkan, merusak nama baik, tidak mau mengerjakan pekerjaan dengan baik, mengulur-mengulur waktu, dan sebagainya.
Model-model bentuk perlawanan sehari-hari dari kaum petani kecil inilah yang menjadikan kaum miskin dan aksi-aksi konfliktual mereka menjadi perhatian ilmu sosial dan menandai kehadiran mereka menjadi perhatian ilmu sosial dan menandai kehadiran mereka sebagai sebuah fakta sejarah. Ada tiga konsekuensi umum dari perlawanan petani di Sedaka ini. Yang pertama, perilaku perlawanan ini memberikan rasa kaya di kalangan petani kecil. Yang kedua, perilaku perlawanan tersebut turut mengikis prinsip-prinsip normatif yang mendukung struktur dominasi. Dan yang ketiga, bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari dari para petani menjadi dasar bagi ekspresi aksi politik terbuka dari pihak mereka.
Pertarungan Simbolis, Mekanisme Kontrol Sosial dan Perjuangan Keadilan Sebagai Tanggung Jawab Sosial
Upaya kaum miskin secara simbolis meruntuhkan status yang diklaim oleh orang kaya, dengan julukan-julukan (label negatif) dengan gunjingan yang merusak (lebih dikenal sebagai “ejekan”), dengan mengecam keserakahan dan kekikiran mereka merupakan suatu upaya yang bisa dilakukan oleh kaum tani miskin. Mereka melakukan perjuangan dengan mekanisme perlawanan sehari-hari, yang lebih terlihat sebagai guyonan, ejekan atau sindiran, yang bahkan mungkin tak pernah sampai ke telinga orang kaya. Namun, tetap di pahami bersama oleh mereka sebagai peringatan bagi yang lain agar tidak bersikap demikian, jadi ini lebih sebagai mekanisme kontrol sosial.
Hal yang menarik dari kehidupan petani di Sedaka ini adalah tidak pernah terjadi konfrontasi terbuka, bahkan upaya-upaya pemboikotan penanaman padi dilakukan dengan sangat hati-hati, mereka melakukkannya dengan cara anonym. Menyampaikan pesannya lewat orang lain, akan ketidakpuasan hati mereka dan mengancam jika suatu saat mesin pemanen rusak, maka jangan harap dapat mengandalkan buruh-buruh lama untuk membantunya mngatasi kesulitan. Para penanam padi itu tetap menjaga pilihan mereka. Mereka menghindari untuk secara terus menerus menolak menanam padi, karena itu akan memancing konflik terbuka.
Sekalipun tidak terlihat terorganisir secara terbuka, namun Scott menemukan unionisme buruh walaupun tanpa serikat buruh. Upaya-upaya perlawanan sehari-sehari yang mereka lakukan bahkan secara rutin, walaupun lebih terlihat sebagai sikap individual akan tetapi ada kesatuan tindakan diantara para petani itu. Karena jika seandainya ada diantara petani miskin itu yang memecah barisan, maka dia harus siap dengan sanksi-sanksi yang ditimpakan oleh tetangganya.
“Berbagai bentuk perlawanan kelas miskin yang saya selidiki punya tanda-tanda yang berbeda-beda. Apakah ia berupa perlawanan terhadap mesin pemanen, negosisasi upah, upaya untuk menghindari persaingan yang menghancurkan di kalangan orang miskin sendiri ataupun pembunuhan hewan ternak, taiadanya secara realtif konfrontasi terbuka antar kelas, sangat mencolok. Kalau perlawanan dilakukan secara kolektif, inipun dilakukan secara sangat hati-hati, kalau dilakukan oleh perorangan atau serangan kelompok kolektif atas hak milik, dilakukannya secara anonym dan biasanya di malam hari”. (Scott, 2000:360-361).
Apabila melihat dari ideologi gerakan, maka upaya-upaya perlawanan yang dilakukan lebih sebagai upaya perjuangan kelas, khususnya mengenai “isu materi”. Memang jika benar-benar dikatakan sebagai sebuah gerakan sosial, ia tidak cukup ciri untuk itu, seperti upaya kolektif yang bersifat terstruktur dan terorganisir, mempunyai visi dan gerakan yang jelas, ada upaya memobilisasi sumber daya, meruapakan aksi massa yang spontan sampai pada pembentukan gerakan sosial dan publik.
Sementara pertarungan di Sedaka, lebih terlihat sebagai mekanisme kontrol sosial, pola resistensi dan perjuangan keadilan sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Jika menggunakan asumsi teoritis dari Rajendra Singh, pertarungan simbolis di sedaka ini lebih merupakan bentuk dari gerakan sosial lama.

2 komentar:

Wbn mengatakan...

kita ini memang selalu ketinggalan konsep, malah prakteknya yang lebih dulu, salam kenal.

Huda Garz mengatakan...

liat sampul bukunya dunk............

Posting Komentar

footer Post 2