Ads 468x60px

Minggu, 08 Agustus 2010

Menelusuri jejak radikalisme di Indonesia dan solusi alternatif penanganannya

Menelusuri jejak radikalisme di Indonesia
dan solusi alternatif penanganannya
oleh: Baiq Lily Handayani, S.Sos *

Benih-benih radikalisme dan terorisme sebenarnya tumbuh sebagai bentuk rasa keprihatinan terhadap nasib yang dialami oleh sesama. Hal itu juga didukung oleh kekecewaan terhadap sikap pemerintah yang kurang berempati dan akomodatif atas apa yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya stres psikis dan stress sosial. Kondisi sosial budaya ekonomi dan politik merupakan penyebab tumbuhnya tindakan-tindakan radikal. Tindakan represif dari pemerintah tidak akan mematikan mata rantai radikalisme dan terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, perlu tindakan akomodatif pemerintah untuk mengakomodir aspirasi rakyatnya. Institusionalisasi kelompok-kelompok radikal dapat menjadi alternatif solusi, selain dengan cara memasukkan materi paradigma jihad dari sudut pandang lain pada mata pelajaran madrasah pada khususnya.
Kata kunci:Terorisme, Radikalisme, institusionalisasi, jihad, kelompok-kelompok

Belakangan ini perkembangan pergerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia sangatlah pesat. Namun sebenarnya jika dianalisa, potensi-potensi radikalisme dan separatisme di Indonesia telah ada bahkan sejak Indonesia itu lahir. Potensi-potensi itu ada disebabkan oleh konstruksi sosial budaya dan bahkan geografis Indonesia.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki kakakter yang berbeda antara satu pulau dengan pulau yang lain. Setiap pulau mengkonstruksi identitas tersendiri kepada penduduknya. Hal itu berdasarkan mata pencaharian, sistem kekerabatan, kepercayaan, pola pemukiman dan lingkungannya. Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan berbagai kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut (cultural activities), misalnya pertanian, nelayan, perdagangan, dan lain sebagainya.
Apabila dianalisa dari sudut pandang sejarah, maka radikalisme yang seringkali akhirnya diidentikkan dengan ummat islam terlahir jauh sebelum Indonesia terbentuk. Namun, dahulu radikalisme ini tidak dipandang dengan makna yang bersifat assosiatif. Akan tetapi, pengertian radikalisme untuk saat ini sering dimaknai secara assosiatif. Hal itu karena selama ini di Indonesia gerakan radikalisme, kerap menjadi kelompok-kelompok radikal yang justru melakukan upaya perubahan dengan tindakan kekerasan dan dengan cara yang merusak.
Dahulu, peran radikal ummat islam dihargai sebagai sebuah perjuangan jihad melawan penjajah. Sejarah mencatat sebagian besar para pejuang berasal dari masyarakat islam. Selain karena semangat juang untuk membebaskan diri dari penjajah yang mengeksploitasi nusantara, juga karena semangat penjajahan yang dibawa oleh kolonialis adalah semangat melanjutkan perang salib.
Seperti yang penulis kutip dalam salah satu situs sejarah Islam Nusantara, sebagai berikut:
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Jadi, apabila dianalisa dari sudut pandang sejarah maka sikap-sikap jihad dan solidaritas sesama ummat islam telah terbentuk sejak dahulu. Semangat solidaritas inilah yang menjadi salah satu akar dari adanya semangat untuk ingin membantu saudara seagama, dan akhirnya terlahirlah sebuah perjuangan untuk membalas. Semangat perjuangan ini pula yang pada akhirnya dimaknai sebagai sikap terorisme oleh kelompok yang menjadi sasaran.
Radikalisme dan terorisme sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Namun, kedua hal ini bisa jadi muncul karena sebab yang sama. Banyak gerakan radikalisme yang muncul karena frustasi atas kondisi sosial, ekonomi, politik dan bahkan agama. Radikalisme sebenarnya sebagai sebuah perwujudan keinginan masyarakat untuk hidup lebih baik. Namun, pada kenyataannya radikalisme lebih terlihat sebagai sebuah upaya perubahan yang dilakukan dengan cara-cara yang radikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Ikhtiar Baru (1995) pengertian radikalisme, adalah satu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastis.
Radikalisme dalam hal ketimpangan pembangunan daerah bisa menyebabkan munculnya separatisme. Sikap politik pemerintah dapat memicu keresahan dalam masyarakat. Sehingga, radikalisme politik, lebih menjurus kepada perebutan kekuasaan suatu daerah tertentu dengan cara pemberontakan. Sebagai contoh, yaitu GAM, GPM, OPM ataupun RMS.
Radikalisme dalam agama, memunculkan sikap ekstrim dan radikal yang akhirnya bisa memunculkan terorisme. Jika, kita menakar mengapa radikalisme dan terorisme ini mudah sekali muncul dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Maka, analisa yang bisa kita pakai adalah analisis sosial budaya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia sangat majemuk. Indonesia terdiri atas puluhan ribu pulau yang tersebar di seluruh Indonesia, setiap pulau memiliki suku, dan dengan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itulah yang memungkinkan adanya potensi konflik pada masyarakat Indonesia. Selain karena faktor sejarah, dimana dahulu Indonesia merupakan pulau yang terdiri atas berbagai macam corak kerajaan, baik berdasarkan agama maupun kedaerahan.
Pada perkembangan selanjutnya ketika Nusantara telah menjadi sebuah Negara Indonesia yang bersatu di bawah komando presiden. Tidak berarti bahwa semua unsur kerajaan di Nusantara tunduk dengan serta merta. Hanya semangat juang kemerdekaanlah yang akhirnya membuat mereka mau untuk tunduk di bawah kekuasaan satu kepala Negara, dengan syarat-syarat tertentu.
Akan tetapi, sekali lagi sejarah mencatat bahwa terdapat sekian banyak pergolakan-pergolakan dari daerah. Motifnya beragam, namun yang pasti hampir semuanya melakukan upaya separatis karena penafsiran atas sikap pemerintah pusat yang tidak adil terhadap pemerataan pembangunan.
Selain itu, kekecewaan-kekecewaan masyarakat atas sikap lepas tangan pemerintah terhadap suatu hal yang menyebabkan kegalauan masyarakat muslim khususnya merupakan suatu hal yang bisa mengobarkan bara radikalisme dan terorisme. Kegalauan atas nasib yang dialami masyarakat muslim di dunia, khususnya di palestina. Seperti yang telah ditulis diatas, bahwa semangat solidaritas keislaman sangat tinggi sejak dahulu kala.
Akhirnya kekecewaan-kekecewaan pun bermunculan. Inisiatif untuk mendirikan kelompok sendiri untuk melawan kekejaman Israel, dengan cara apa adanya dan semampunya. Begitulah akhirnya, apa yang terjadi. Orang-orang yang sebenarnya bukan pelaku menjadi korban dari sasaran kemarahan mereka.
Secara sosiologis, perasaan sebangsa (bangsa Islam) menciptakan sebuah solidaritas social yang sangat tinggi. Ketika solidaritas social telah terbentuk, untuk melakukan suatu upaya gerakan social juga sangat mudah. Terlebih lagi yang melakukan provokasi adalah tokoh-tokoh yang disegani.
Banyak sekali contoh-contoh yang kita temukan di Indonesia, dimana banyak gerakan-gerakan social yang dimulai dari adanya tablig akbar. Demikian juga pelaku-pelaku terorisme banyak yang berasal dari pondok pesantren, dimana patronasenya sangat tinggi.
Lihatlah ketika Israel membombardir warga palestina, ketika Amerika membombardir Irak dan Afghanisthan. Apa yang terjadi. Hal itu tidak membuat ciut nyali-nyali para muslim di seluruh dunia. Justeru semakin membangkitkan jiwa jihad mereka. Ingat. Pemberantasan teroris secara membabi buta tidak akan menghabiskan generasi itu.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mengakomodasi kelompok-kelompok radikal seperti tersebut di atas. Dalam bahasa sosiologi terdapat sebuah metode yang sering dipakai untuk menghadapi gejolak-gejolak dalam sebuah masyarakat, yakni memanage konflik itu sendiri. Istilah ini sering dikenal dengan institusionalisasi konflik.
Institusionalisasi konflik bisa dilakukan dengan cara membuat katup-katup penyelamat. Misalnya, salah satu dengan cara memasukkan materi-materi tentang Persfektif jihad di dalam kurikulum pesantren. Dimana pesantren merupakan lembaga yang sangat mudah untuk mencetak kader-kader teroris. Melalui kurikulum pelajaran ini, siswa akan diajak berpikir tentang jihad dari sudut pandang yang lain.
Selain itu, dapat juga membuat kelompok-kelompok solidaritas untuk Palestina yang mana melalui kelompok-kelompok itu mereka bisa menyalurkan aspirasi kepada pemerintah, dan bahkan bisa menyalurkan bantuan-bantuan kepada rakyat palestina dan yang lainnya yang terdzalimi. Dengan adanya kelompok-kelompok tersebut maka pemerintah akan mudah memantau perkembangan dan pergerakan mereka.
Hanya kelompok-kelompok tertentu atau bisa dibentuk kelompok nasional yang diakui, sehingga jika ada kelompok lain yang muncul maka pemerintah bisa memberikan tindakan yang tegas. Hanya kelompok yang diakui dan jelas visi misinya yang bisa diakomodir. Hal itu tentu akan lebih mempermudah pemerintah dalam memantau perkembangan bibit-bibit terorisme ataupun radikalisme di Indonesia.
Contoh dari adanya institusionalisasi solidaritas kelompok ini adalah LSM Mer-C. MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) adalah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan mempunyai sifat amanah, profesional, netral, mandiri, sukarela, dan mobilitas tinggi. Mereka berusaha untuk menolong.
Kelompok Front Pembela Islam, juga merupakan kelompok yang radikal dan sering bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, keberadaan mereka yang telah terlembaga memudah control dan pemantauan terhadap gerakan-gerakan mereka.

FACEBOOK SEBAGAI KATUP PENYELAMAT

FACEBOOK SEBAGAI KATUP PENYELAMAT
Oleh: Baiq Lily Handayani, S.Sos
Staff Pengajar Sosiologi Universitas Jember

Terdapat sebuah budaya baru pada masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal media menyalurkan aspirasi. Jika dulu, masyarakat menyalurkan aspirasi lewat parpol, media massa, atau dengan cara unjuk rasa turun ke jalanan. Namun saat ini tidak hanya itu yang dipakai sebagai media untuk menyalurkan aspirasi. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan media jejaring sosial facebook.
Menurut data statistik yang dilansir CheckFacebook.com, jumlah pengguna Facebook di Indonesia telah masuk 10 besar jumlah pengguna Facebook terbesar di dunia. Indonesia bertengger di peringkat tujuh, mengalahkan Australia, Spanyol, dan Kolombia di peringkat 10.
Bahkan ketika terjadi kasus-kasus besar dalam negeri ini, seperti kasus Bibit dan Chandra, jutaan facebooker memberikan dukungan mereka terhadap kedua orang pejabat KPK tersebut. Apa yang dilakukan oleh facebooker cukup memberikan pengaruh terhadap pola pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Demikian juga ketika terdapat kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Seorang pasien RS Omni Internasional yang diponis bersalah karena telah mengirimkan email kepada teman-temannya tentang keluhannya terhadap pelayanan RS Omni Internasional. Jutaan facebooker memberikan dukungan kepada Prita, baik itu dukungan-dukungan moril, maupun menggalang opini untuk membela Prita. Bahkan ketika Prita dikenai tuntutan perdata dengan membayar sebanyak Rp. 204 juta. Masyarakat menggalang dukungan lewat facebook dengan membuat akun -koin untuk Prita-, hasil dari pengumpulan koin tersebut bahkan mencapai Rp. 500 juta lebih.
Lalu mengapa masyarakat menggunakan facebook sebagai media penggalangan opini dan penyampai aspirasi alternatif? Berikut beberapa alasan mengapa facebook dianggap sebagai media yang cukup efektif saat ini:

Media facebook telah dipakai oleh berbagai kalangan di Indonesia, dan sebagian besar adalah kalangan menengah ke atas. Sehingga, opini-opini tersebut lebih mudah dipantau oleh penentu kebijakan di Indonesia.
Peran media dalam memblow up opini-opini yang ada di facebook juga sangat besar, bahkan beberapa media sering menerima pendapat secara online dari facebooker.
Melalui media facebook semua orang bisa menyalurkan unek-uneknya, aspirasinya, ketidaksetujuannya, atau bahkan fakta-fakta yang ada di masyarakat bisa diungkap melalui dunia facebook. Sehingga semua orang merasa mempunyai posisi di dunia facebook, tidak ada yang berkuasa dan dikuasai.
Membuat gerakan di facebook lebih gampang daripada berdemostrasi di jalan raya. Selain tidak mengganggu ketertiban umum juga tidak harus berpanas-panasan. Oleh karena itu facebook bisa dikatakan sebagai parlemen, yaitu parlemen dunia maya. Namun bukan berarti aksi jalanan tidak penting lagi.
Jumlah pengguna facebook di Indonesia sangat banyak, sehingga sangat memudahkan untuk menggalang aksi solidaritas melalui facebook.
Facebook memungkinkan penggunanya berpartisipasi walaupun sedang berada diluar daerah. Artinya facebook sangat mobile.
Menggunakan facebook sangat mudah dan murah, bisa diakses dimanapun dan kapanpun baik melalui media komputer maupun HP. Bahkan sambil tidur-tiduran pun bisa.

Harus diakui aksi dukung mendukung dari dunia maya ini mampu menekan pemerintah, khususnya dalam kasus Bibit dan Chandra, presiden kemudian membentuk tim 8. Munculnya aksi solidaritas yang cukup besar ini bisa dikatakan merupakan tanda bangkitnya kekuatan masyarakat sipil yang harus diperhitungkan oleh yang berkuasa karena dukungan itu bisa saja berbuah menjadi people power.

Bentuk-bentuk kebangkitan rakyat seperti yang diperlihatkan di Facebook merupakan reaksi atas tersumbatnya saluran demokrasi resmi. Sekaligus reaksi terhadap kartel politik yang dipertontonkan partai politik dengan koalisi besarnya. Partai politik yang sejatinya alat perjuangan rakyat lebih doyan bersekutu dengan penguasa.
Demikian juga dengan anggota DPR, mereka pun tidak bisa lagi diharapkan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Sebab 75% DPR bersatu dengan pemerintah. Akibatnya, timbul perlawanan yang luas melalui Facebook.

Begitu banyaknya permasalahan yang datang bertubi-tubi dalam negara ini, membuat gerah masyarakat. Selain masalah politik, hukum, Kesehatan dan hak asasi manusia, juga berimbas kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Kegerahan masyarakat atas polemik-polemik tersebut menimbulkan sebuah isu yang cukup besar yaitu akan adanya aksi people power yang akan mengepung istana presiden. Namun, terbukti itu tidak terjadi.

Facebook dalam hal ini sebagai media penyalur aspirasi, dimana semua orang bisa mengungkapkan opininya, memungkinkan aksi-aksi jalan menjadi terkurangi. Banyak orang yang menganggap media facebook lebih efektif dibanding turun ke jalan. Atau sudah tersalurkannya aspirasi masyarakat melalui facebook bisa meminimalisir gejolak-gejolak emosi masyarakat.

Oleh karena itu facebook bisa menjadi media safety valve (katup penyelamat). Katup penyelamat merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan lupan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan struktur, konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Coser (dalam Poloma, 2000: 108) melihat katup penyelamat berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.

Dengan demikian katup penyelamat dalam hal ini facebook dapat memberikan ruang bagi pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Sehingga aksi-aksi brutal atau unjuk rasa besar-besaran bisa diminimalisir.

Akan tetapi, katup penyelamat ini hanya berfungsi sebagai media penyalur saja. Dia tidak bisa menghilangkan masalah yang sebenarnya. Facebook hanya berfungsi menguatkan opini, menggalang aksi solidaritas. Oleh karena itu tindakan-tindakan praktis lainnya masih tetap diperlukan untuk menyelesaikan konflik itu sendiri.

Dalam kasus masyarakat Indonesia, tindakan cepat dari presiden, kepolisian, dan pihak-pihak yang terkait harus tetap dilaksanakan. Karena tanpa itu, facebook justru akan menjadi media propaganda untuk menggalang aksi turun ke jalan (people power).

Tulisan ini pernah dimuat di majalah kampus Universitas jember, pada awal tahun 2010

footer Post 2