Ads 468x60px

Minggu, 01 Mei 2011

REVIEW BUKU GERAKAN SOSIAL BARU RAJENDRA SINGH.

REVIEW BUKU GERAKAN SOSIAL BARU RAJENDRA SINGH. 2010. YOGYAKARTA:RESIST BOOK
Oleh: Baiq Lily Handayani
Buku ini membahas tentang gerakan-gerakan sosial, konflik-konflik sosial dan tindakan-tindakan kolektif. Dalam buku ini topik-topik tersebut berusaha di telaah secara kritis, dalam konteks masyarakat dan ilmu sosiologi. Singh, tidak terlalu suka mengkaji masyarakat dengan menggunakan sudut pandang teori struktural fungsional, namun lebih menganut paradigma konflik. Dalam buku ini, gerakan-gerakan sosial tidak ditampilkan sebagai wujud dari gangguan, kerusuhan, kekacauan dan upaya meruntuhkan tatanan masyarakat yang telah mapan. Jadi, masyarakat tidak dipandang sebagai sebuah tempat berlangsungnya rutinitas kehidupan sehari-hari yang aman dan stabil. Buku ini, mengambil setting tempat di India, dengan segala kompleksitas masyarakatnya.
Menurut Singh, masyarakat India terjebak dalam kontradiksi ganda, modernitasnya berjalan begitu terlambat dan keberhasilan pembangunannya berlangsung lamban. Di sisi yang lain, melompat tanpa melewati modern, dan menjadi ciri awal dari masa post modernitas. Perjuangan kontemporer pada masa postmodernitas tidak lagi terarah kepada usaha mencapai capaian material seperti kepemilikan tanah/porsi dalam produk-produk industri, namun kepada usaha mendefinisikan kembali norma-norma dan nilai-nilai, kepada penguasaan barang kultural dan simbol-simbol kolektif, kepada hak-hak pemilik dan keadilan sosial dan kepada sebuah pertarungan untuk mengejar ruang publik untuk bertindak dan untuk diakui sebagai subjek pelaku tindakan tersebut.
Revolusi di wilayah teknologi informasi dan komunikasi bukan hanya menawarkan pengetahuan mengenai moralitas dan etika universal serta pengetahuan sekuler mengenai alam, manusia dan dunia kepada kaum kaya dan miskin di India, namun pada level kelompok juga membawa sebentuk orientasi kebudayaan yang bercorak sangat lokal dimana artikulasinya seringkali bersifat oposisional satu sama lain. Ekspresi-ekspresi tindakan kolektif yang membela komunitas, paham subnasionalisme, pencarian akar budaya dan identitas-identitas kedaerahan, tuntutan-tuntutan feminis dan penggunaan seni-seni perlawanan.
Pada level individual, orientasi postmodernis tercermin dalam tuntutan akan kebebasan pribadi, otonomi individu, dan kebebasan untuk memilih. Pada masa ini terjadi persaingan unik, antara universal, lokal dan individual.
Konsep masyarakat sebagai sebuah tubuh tunggal yang secara sosial tersatukan dalam satu keseluruhan yang tunggal di bawah payung pemersatu kebudayaan pan-india, berubah menjadi suatu konsep yang rapuh. Individu menjadi berwajah ganda, yang satu berwatak global dan yang lain berwatak sangat lokal. Konsep society yang klasik tergantikan oleh post society.
Singh, mengakui kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik struktural sosial yang ada di masyarakat merupakan kondisi-kondisi dasar yang menumbuhkan gerakan-gerakan sosial. Karena kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik struktural sosial merupakan sesuatu yang inheren dalam pembentukan suatu masyarakat dan organisasi sosial. Satu poin penting yang ingin ditekankan oleh Rajendra Singh adalah bahwa situasi-situasi ketimpangan dan dominasi sosial, jika dijalankan dan dipertahankan oleh institusi-institusi dan lembaga-lembaga sosial, pada gilirannya akan menghasilkan sebuah situasi balik dimana terjadi perlawanan, penolakan dan pemberontakan menentang sistem dominasi tersebut. (Rajendra Singh, 2010:19). Jika melihat dari pandangan-pandangan Rajendra Sigh ini, maka dia termasuk dalam penganut teori konflik. Yang menekankan bahwa dalam masyarakat selalu terjadi kontradiksi-kontradiksi atau pertentangan antar bagian-bagiannya.
Menurutnya gerakan-gerakan sosial adalah ekspresi usaha-usaha kolektif masyarakat untuk menuntut kesetaraan dan keadilan sosial, dan mencerminkan perjuangan masyarakat untuk membela identitas dan warisan kultural mereka. Aksi-aksi kolektif merupakan kenyataan yang esensial dan terus ada dalam masyarakat. Bagi Singh, gerakan sosial dan aksi-aksi sosial telah ada sejak masyarakat itu terbentuk.
Sebelum membahas mengenai gerakan sosial secara lebih mendalam Rajendra Singh, memulainya dengan menjelaskan tentang aksi kolektif yang bersifat konflik. Aksi kolektif revolusi bersifat non-institusional yang dalam tingkatan tertentu memiliki struktur dan organisasi. Studi aksi kolektif dalam hal ini difokuskan pada konflik yang mengarah pada aksi-aksi kolektif konfliktual dalam sebuah masyarakat yang struktur sosial dicirikan oleh hirarkhi, ketimpangan sosial dan ketidakadilan sosial yang tajam. Kajian ini tidak memasukkan konflik-konflik individual, yang terpencar-pencar, insidental, tak tersruktur, tak terorganisir seperti kasta, kelas, komunitas, kelompok gender dan Negara.
Singh, membedakan aksi kolektif menjadi 5 macam:
1. Riot (kerusuhan). Riot didefinisikan sebagai pecahnya kekacauan massa yang singkat namun sarat kekerasan. Kerusuhan pecah secara tiba-tiba, membakar dan mengamuk terhadap kelompok sasaran dan kemudian mereda dalam waktu singkat setelah meninggalkan kematian dan kehancuran. Kerusuhan merupakan indeks dari ketidakpuasan umum yang terjadi di dalam masyarakat. Menurut Singh, kerusuhan dan pemberontakan bisa mengarah kepada gerakan sosial yang masa hidupnya lebih lama dan berskala luas.
2. Pemberontakan (revolt). Revolt merujuk pada aksi penentangan yang terorganisir atau aksi meruntuhkan secara terorganisir sistem otoritas yang ada. Pemberontakan merupakan kondisi penentu yang bersifat mendasar bagi konsep-konsep seperti penentangan dan revolusi.
3. Rebellion (penentangan). Rebellion merupakan bentuk pemberontakan yang sejati. Rebellion tidak menetang orang-orang melainkan otoritas yang didasarkan pada konstitusi dan hukum-hukum pemerintah, yang siapapun rezimnya, secara paksa digunakan untuk merusak dan membenarkan pelanggaran mereka terhadap masyarakat. Namun, karena bentuk-bentuk aksi kolektif penentangan itu menunjuk pada penolakan terhadap otoritas politik oleh suatu bagian masyarakat, maka jangkauan dan dampaknya relatif terbatas jika dibandingkan dengan revolusi.
4. Revolution (revolusi). Revolusi, merujuk pada pembaharuan tatanan ekonomi secara total, sosial, dan politik dengan menerapkan perubahan-perubahan fundamental dalam struktur masyarakat. Revolusi merujuk pada keikutsertaan semua lapisan masyarakaat di seluruh wilayah Negara untuk menggulingkan dan menggantikan tatanan politik yang ada dengan yang baru. Makna penting yang mendasar dari revolusi terletak bukan pada penggunaan cara-cara kekerasan untuk mengubah secara mendasar organisasi sosial, namun dalam kemampuannnya untuk berdampak terhadap terciptanya sebuah pergeseran besar-besaran dalam relasi antarkelas.
5. Sosial Movement (gerakan sosial). Gerakan sosial secara umum memobilisasi anggota-anggotanya (partisipan-partisipan) untuk berusaha menyuarakan keluhan atau mencapai tujuan jangka menengah dan jangka pendek tertentu. Gerakan sosial tidak selalu merupakan mobilisasi melawan Negara dan sistem pemerintahan, dan juga tidak selalu melibatkan perjuangan bersenjata dan penggunaan kekerasan. Menurut Singh, gerakan sosial bisa saja mengarah atau berubah menjadi revolusi. Ketika gerakan sosial telah menjadi revolusi, maka gerakan sosial tak lagi merupakan sebuah gerakan. Gerakan sosial itu akan menjadi bentuk aksi kolektif yang lain.
Kesamaan dari berbagai bentuk aksi kolektif ini adalah adanya penetangan terhadap otoritas. Menurutnya jika otoritas politik tidak lagi sanggup melindungi kehidupan dan hak asasi masyarakat, jika sistem itu menjadi tiran dan tak adil, maka rebellion dan revolt menjadi satu-satunya metode yang tersedia untuk memulihkan kembali dan melindungi masyarakat. Hal yang harus dipahami menurutnya adalah bahwa semua tipe gerakan sosial itu merupakan aksi-aksi kolektif, namun tidak semua bentuk-bentuk aksi kolektif itu merupakan gerakan sosial.
Rajendra Singh, tidak sependapat dengan Smelser yang menganggap bahwa gerakan kolektif merujuk kepada usaha-usaha kolektif untuk memodifikasi norma-norma dan nilai-nilai, yang seringkali (namun tidak selalu) berkembang dalam jangka waktu yang lama. Smelser memasukkan di dalamnya konsep-konsep revolusi. Rajendra Singh, mengatakan bahwa gerakan sosial bisa saja mengarah atau berubah menjadi revolusi. Ketika gerakan sosial berubah menjadi revolusi, maka gerakan sosial itu tidak lagi menjadi sebuah gerakan. Gerakan itu akan menjadi bentuk aksi kolektif yang lain. Menurutnya tidak ada jalur linier dari mobilisasi ke revolusi. Namun, Singh tidak menjelaskan, bentuk aksi kolektif seperti apa yang akan menjadi bentuk baru gerakan sosial setelah dia berubah menjadi revolusi. Tidak jelas juga, apakah bentuk-bentuk aksi-aksi kolektif yang disebutkan Singh seperti, crowd, riot, rebellion, revolt, revolusi dan gerakan sosial merupakan sebuah tahapan ataukah tidak. Atau hanya sekedar merupakan bentuk aksi-aksi kolektif berdasarkan cara yang digunakan, tujuan yang diharapkan, struktur bentuk atau juga mungkin sebuah tahapan yang lebih ekstrim dari aksi-aksi kolektif.
Menurut Singh, lahirnya postmodernitas menyimbolkan kritik terhadap modernitas, yang secara umum dianggap bertentangan dengan martabat manusia seperti kebebasan untuk memilih dan mengembangkan jalan kehidupan sosial dan kulturalnya sendiri. Modernitas dianggap menegasikan etos egalitarian dan humanis dari nilai-nilai dan kepekaan-kepekaan demokratis. Sedangkan postmodernisme memberikan pengakuan akan sama pentingnya berbagai bentuk kebudayaan dan peradaban, meski eksistensinya heterogen dan beragam bentuk. Postmodernisme menyangkal gagasan adanya kebudayaan yang superior dan inferior. Singh, menegaskan bahwa modernism telah menghasilkan sebuah kebudayaan dan menjadi medan munculnya tipe-tipe konflik dan gerakan sosial baru.
Dalam menganalisa secara lebih mendalam mengenai kondisi gerakan sosial di India, Rajendra Singh mengklasifikasikan tradisi teoretis dalam studi gerakan sosial dan tindakan kolektif.
a. Tradisi klasik. Tradisi klasik meliputi sebagian besar studi-studi dalam perilaku kolektif seperti crowd, riot dan rebel, utamanya oleh para psikolog-sosial barat dan para sejarawan dari sebelum tahun 1950-an. Singh, memfokuskan kajian mengenai tradisi klasik ini pada pengulangasan mengenai crowd. Akan tetapi Singh tidak secara jelas menerangkan mengenai jenis-jenis dari perilaku crowd. Berbeda dengan Light, Keller dan Calhoun yang bisa membedakan secara jelas mengenai tipologi perilaku kerumunan seperti kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan konvensional, kerumunan ekspresif dan kerumunan bertindak. Akan tetapi menurut Gustave Le Bon kerumunan hanya ampuh dalam melakukan penghancuran, memerintah secara biadab, dan tidak mampu mewujudkan peradaban yang ditandai oleh aturan mantap, disiplin, peralihan dari naluri ke rasio, pandangan ke masa depan dan kebudayaan bertingkat tinggi.
b. Tradisi neoklasik. Tradisi ini dihubungkan dengan tradisi utama dalam studi gerakan sosial lama. Kebanyakan tulisan dalam tradisi neo-klasik dipublikasikan setelah tahun 1950-an. Tradisi ini dibagi lagi ke dalam dua model gerakan sosial lama yaitu fungsionalis dan dialektika marxis.
c. Tradisi Gerakan Sosial Baru atau kontemporer. Menurut singh, gerakan sosial baru tidak melibatkan dirinya pada wacana ideologis yang meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas dan perjuangan kelas. Gerakan sosial baru ini lebih tertarik pada gagasan revolusi dan penggulingan sistem pemerintahan Negara secara revolusioner. Selain itu gagasan anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminism, environmentalism, regionalism dan etnisitas, kebebasan sipil, dan sebagainya. Tampilan GSB adalah plural.
Berikut ciri dari gerakan sosial baru:
1. Kebanyakan GSB menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya mengalami penciutan dan yang sosial dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kemampuan control Negara.
2. Secara radikal GSB mengubah paradigm Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah kelas dan konflik kelas.
3. Mengingat latar belakang kelas dan menentukan identitas actor ataupun penopang aksi kolektif, GSB pada umumnya mengabaikan model organisasi serikat buruh industry dan model politik kepartaian. Dalam hal ini tujuan GSB adalah untuk menata kembali relasi Negara, masyarakat dan perekonomian, dan untuk menciptakan ruang public yang di dalamnya wacana demokratis ikhwal otonomi dan kebebasan individual dan kolektivitas serta identitas dan orientasi mereka bisa didiskusikan dan diperiksa selalu.
4. Berbeda dengan gerakan klasik, struktur GSB didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi, dan oleh heterogenitas basis sosial mereka.
Analisis komparatif antara gerakan sosial lama dengan gerakan sosial baru.
a. Gerakan sosial lama. Dikonseptualisasi sebagai gerakan kelas, studi-studi mengenai petani, kelas buruh, dan bahkan gerakan suku, terutama dalam model Marxis diperlakukan sebagai gerakan-gerakan kelas yang ditentukan secara material.
b. Gerakan sosial baru. Paradigm ini secara umum bersifat non deterministik dan non teologis. Karena sifatnya yang demikian, GSB menyingkapkan kemajemukan dan keberagaman bentuk aksi kolektif manusia, seperti gerakan feminisme, ekologi, perdamaian, hak asasi manusia dan hak dari kolektivas yang terpinggirkan. Beberapa dari gerakan ini memiliki implikasi-implikasi globalnya dan berjalan lintas Negara (transnasional), lintas masyarakat, kultur dan bangsa. GSB lebih bersifat sosio kultural daripada sosio politis.
Karena bersifat non-kelas, secara umum non politik dan non-revolusioner, ekspresi-ekspresi GSB mengandung nada moral yang lekat. Sebenarnya apapun itu bentuk gerakan sosial semua bermula dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik dan juga ekologi masyarakat. Dalam masa revolusi teknologi informasi ini, sebenarnya semua hal terjadi baik itu gerakan sosial lama maupun baru, hanya saja masyarakat semakin pandai dalam mangartikulasikan keinginannya, pendapatnya dan juga protesnya.

Adanya kebebasan dalam mengekspresikan hak asasi, menjadikan masyarakat menjadi lebih terbuka menuntut sesuatu hal yang selama ini dianggap tidak terlalu penting dibanding pemenuhan kebutuhan pokok. Dahulu, kaum feminis hanya berani mengungkapkan aspirasinya lewat tulisan-tulisan, karena dunia masih dikuasai oleh konsep patriarkhi, sampai akhirnya isu-isu kesamaan hak dan kesetaraan gender digulirkan. Demikian juga dengan gelombang kaum waria yang juga meminta hak mereka di dalam masyarakat. Konflik-konflik antar agama dan antar kelas masih banyak terjadi, namun dalam perjalanannya seringkali diredusir menjadi perjuangan hak, perjuangan kolektivitas untuk memperoleh eksistensi.
Rajendra Singh, membedakan antara gerakan social lama (klasik) dan baru (kontemporer). Beberapa bentuk dari gerakan social lama adalah, (a) gerakan-gerakan petani dan perjuangan agraria, (b) post-history serta gerakan kaum tani serta studi-studi sub altern, (c) gerakan suku dan (d) gerakan buruh. Sedangkan GSB terbagi menjadi dua, yaitu gerakan inklusif, (a) gerakan ekologi, (b) gerakan perempuan, (c) gerakan Dalit dan (d) gerakan petani. Sementara yang termasuk gerakan ekslusif ialah (e) gerakan-gerakan subnasionalis dan otonomi kedaerahan.
Adanya transformasi dari bentuk, motivasi, sebab dan cara dari gerakan sosial tentunya memunculkan kemajemukan dalam gerakan sosial baru. David Aberle misalnya, secara lebih tegas membedakan gerakan sosial berdasarkan tipe gerakan sosial yang dikehendaki (perubahan perorangan dan perubahan sosial) dan besarnya perubahan yang diinginkan, membedakannya menjadi empat tipe. Yaitu; alterative movement, gerakan yang bertujuan untuk merubah perilaku perorangan (seperti kampanye bebas merokok). Redemptive movement, gerakan yang ingin mencapai perubahan keseluruhan dari perilaku perorangan (dalam bidang agama, anjuran untuk bertaubat). Reformative movement, gerakan yang hendak mengubah masyarakat namun dengan ruang lingkup yang akan diubahnya hanya segi-segi tertentu (gerakan kaum homoseks untuk memperoleh pengakuan terhadap gaya hidup mereka) dan transformative movement, gerakan untuk merubah masyarakat secara menyeluruh (gerakan untuk menciptakan masyarakat komunis).

1 komentar:

Posting Komentar

footer Post 2