Ads 468x60px

Minggu, 01 Mei 2011

PEMBERDAYAAN EKONOMI PEREMPUAN MELALUI PEMBERIAN KREDIT MIKRO (SUATU UPAYA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI KECAMATAN PATRANG)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Analisis Situasi
Ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi, banyak usaha-usaha besar yang dibangga-banggakan justru sebagian besar mengalami kebangkrutan/gulung tikar dan memberikan beban berat bagi negara dan bangsa. Sebaliknya usaha kecil yang selama ini dipandang sebelah mata mampu bertahan, bahkan berkembang. Ternyata, meskipun selama ini usaha kecil sering dianggap tidak ada perannya bahkan sering digusur, namun mereka mampu menunjukkan eksistensinya.
Walaupun usaha kecil mempunyai daya juang luar biasa, namun untuk bertahan hidup dan berkembang perlu diberikan lingkungan berusaha dan dukungan-dukungan lain untuk meningkatkan daya saing dan daya tumbuhnya. Untuk itu isu pembinaan dan pengembangan usaha kecil (termasuk mikro), dan usaha menengah semakin digalakkan. Identifikasi kebutuhan dan masalah usaha kecil perlu terus dilakukan dalam upaya meningkatkan daya tumbuh dan daya saingnya.
Wanita potensial untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, apalagi potensi tersebut menyebar di berbagai bidang maupun sektor. Wanita sangat potensial dan memiliki kompetensi dalam pengembangan usaha kecil, menengah maupun koperasi. Wanita dapat berperan sebagai pelaku bisnis, pengelola, pembina/ pendamping, ataupun sebagai tenaga kerja. Dengan potensi tersebut wanita potensial berperan aktif dalam proses recovery ekonomi yang masih diselimuti berbagai permasalahan ini.
Dalam kondisi demikian kajian dengan tema wanita dan pengembangan usaha, relevan untuk dibicarakan, khususnya dalam upaya menyiasati pemulihan ekonomi serta meningkatkan kemandirian dan kemampuan wanita.
Wanita seringkali menjadi bagian dari kemiskinan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada pertengahan tahun 1999 jumlah orang miskin sebesar 79,4 juta atau sekitar 39,1 persen dari total populasi dan setengahnya adalah perempuan. Hasil Susenas 1996 dan 1999 menunjukkan rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan bertambah sebesar 45,9 %, dari 0,71 juta menjadi 1,03 juta. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin absolut tercatat sebesar 36,1 juta jiwa atau 16,66 % dari total populasi. Dari jumlah tersebut jika dipisahkan menurut jenis kelamin ternyata lebih banyak penduduk perempuan miskin dibanding laki-laki. Rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan meningkat menjadi 3,03 juta, dan jumlahnya makin bertambah dari tahun ke tahun. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan perempuan. Berdasar geografi, orang miskin lebih banyak di desa daripada di kota. Berdasar gender, lebih banyak perempuan miskin dibanding lelaki miskin.
Masalah kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat khsususnya perempuan sebagian besar diakibatkan oleh kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini adalah suatu kondisi di mana sekelompok orang berada di dalam wilayah kemiskinan, dan tidak ada peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan, bahkan juga anak-anaknya. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, dan bisa dikatakan mengalami “kemiskinan abadi“. Jika seorang pemulung punya anak, dan dia tidak memiliki biaya untuk memberikan gizi yang cukup, maka akan berdampak kepada kecerdasan sang anak, lalu juga tidak punya biaya menyekolahkan anaknya, maka seakan-akan keluar dari wilayah kemiskinan hanyalah sebuah angan-angan. Dia akan terjebak ke dalam “kemiskinan abadi”, bahkan sampai ke anak-anaknya.
Kemiskinan struktural merupakan suatu kemiskinan yang langgeng disebabkan oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut tidak mampu mengakses sumber-sumber sosial ekonomi maupun politik. Oleh karena itu sangat penting sekali untuk memudahkan akses bagi mereka, khsususnya bagi kaum perempuan.
Perempuan sebagai satu-satunya pencari nafkah keluarga cenderung terus bertambah karena migrasi musiman, keluarga berantakan, kematian atau permanen migran dari “male breadwinner”, yang merupakan alasan dari tumbuhkembangnya kepala keluarga tunggal.
Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (a) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (b) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (c) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (d) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (e) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (f) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (g) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (h) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (i) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Hal itu seperti yang terjadi di Bangladesh, India. Sebuah lembaga yang bernama Grameen Bank memulai usaha pada tahun 1976, sebagai sebuah proyek percontohan yang dijalankan Muhammad Yunus merupakan seorang profesor bidang ekonomi pedesaan di Chittagong University, Bangladesh tenggara. Proyek itu kemudian membuktikan bahwa pemberian kredit ke kaum papa bukanlah suatu yang mustahil. Kredit ke kaum papa itu juga berperan memotong lingkaran kemiskinan, julukan bagi keadaan di mana kaum miskin tetap miskin karena dia miskin dan demikian terus berlaku secara turun-temurun tanpa menemukan jalan keluar. Si miskin juga tetap makin terjerat karena mereka mendapatkan uang dari lintah darat atau perantara yang menagih komisi tinggi dari si miskin.
Dari hasil pengamatannya selama tahun 1975 s/d 1976 Yunus menyimpulkan bahwa kemiskinan terjadi bukan karena mereka malas dan bodoh, tetapi karena masalah mendasar dalam system (kemiskinan struktural), yaitu mereka tidak memiliki kesempatan terutama karena tidak mempunyai modal. Untuk meminjam pada bank mereka tidak mempunyai agunan. Pada pengamatan berikutnya,Yunus mengetahui bahwa ada jaminan yang lebih berharga dari agunan yaitu social capital. Selain itu ia berkeyakinan bahwa kelompok miskin mempunyai kemampuan terpendam untuk mempertahankan hidup dan ini telah dibuktikan dengan eksistensi mereka dari generasi ke generasi.
Grameen Bank sendiri mengucurkan pinjaman ke sekitar 6,61 juta warga, sekitar 97 persen adalah wanita. Target bank itu adalah wanita karena percaya bahwa wanita membuktikan diri sangat hati-hati mengalokasikan uang di dalam keluarga.
Pemberdayaan adalah terminologi yang paling sering disejajarkan dan digunakan dalam upaya poverty reduction. Pemberantasan kemiskinan memerlukan keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi, kesempatan yang sama dan partisipasi penuh dan adil antara laki-laki dan perempuan sebagai agen pembangunan berkelanjutan. Pemberdayaan merupakan proses peningkatan kapasitas seseorang atau kelompok dalam menentukan pilihan guna melakukan suatu aksi atau output yang diinginkan. Pemberdayaan merupakan kombinasi antara dua faktor yang saling terkait yakni agency dan struktur peluang. Agency yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam menentukan pilihan yang berarti baginya. Sedangkan struktur peluang adalah berbagai aspek yang membuat seseorang dapat berbuat sesuatu karena kemampuannya untuk memilih. Dengan demikian, pemberdayaan dapat diartikan sebagai dalam situasi dimana terdapat ketidakseimbangan relasi kekuasaan, maka seseorang yang memiliki kapasitas yang memadai mampu melakukan pilihanpilihan yang efektif serta dapat memperoleh benefit dari berbagai upaya yang berusaha menekan angka kemiskinan.
Pemberdayaan perempuan yang dicanangkan dalam Millenium Development Goals untuk mengurangi kemiskinan berwajah perempuan memiliki tiga dimensi yaitu Human Capability, kemampuan manusia dalam hal pendidikan, kesehatan dan gizi, dengan menghilangkan gap pendidikan bagi perempuan dan laki-laki hingga sekolah menengah; Acces to resources and opportunity, akses terhadap sumber daya dan kesempatan yang mengacu pada aset ekonomi dan partisipasi politik; dan Security, terutama kerentanan perempuan terhadap kekerasan.
Pemberdayaan perempuan dapat menekan angka kemiskinan dengan mengubah dan memperbaiki hidup perempuan. Pemberdayaan perempuan dapat dilakukan dengan pendekatan pembangunan berbasis hak, bahwa setiap orang memiliki berbagai hak yang mendasar yang mana setiap negara wajib untuk memajukan, meningkatkan dan melindungi hak-hak warga negaranya, untuk hidup layak termasuk untuk tidak hidup dalam kemiskinan.
Demikian juga di Kabupaten Jember, perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam membantu pengembangan ekonomi keluarga. Hal itu terlihat dari banyaknya usaha kredit mikro yang dikelola oleh perempuan. Khususnya di Kelurahan Tegalgede, banyak ibu-ibu yang mengelola usaha-usaha kecil.
Oleh karena itu, dalam pengabdian masyarakat ini tim sangat tertarik untuk mengkaji, merumuskan dan memberikan sosialisasi kepada para ibu-ibu yang mempunyai usaha kecil.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang harus dijawab, sebagai berikut:
1. Bagaimana cara mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi dalam mengembangkan usaha?
2. Bagaimana cara memperluas jaringan pemasaran produk hasil usaha?
3. Bagaimana cara mengembangkan usaha agar menjadi lebih baik dengan adanya kredit mikro?
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT


2.1 Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan pembinaan melalui pemberian motivasi dan pendanaan, diharapkan ibu-ibu dapat memahami tentang peran dan fungsi kredit mikro yang diberikan, sehingga mereka yang diberi pinjaman modal dapat mengembangkan usahanya.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan pembinaan, diharapkan ibu-ibu dapat:
a. Ibu-ibu dapat memetakan permasalahan yang menjadi kendala dalam mengembangkan usahanya,
b. Ibu-ibu dapat membuka jaringan dan metode pemasaran yang lebih luas dan lebih baik,
c. Ibu-ibu dapat mengembangkan skala usahanya melalui peminjaman modal tersebut.

2.2 Manfaat
Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi khalayak sasaran sebagai berikut.
1. Dapat memberikan pandangan kepada masyarakat dan mengubah paradigma berpikir masyarakat khususnya kaum perempuan dalam mengelola usaha mikro mereka.
2. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah, agar lebih memperhatikan masyarakat dengan usaha mikro dengan kendala-kendala yang dihadapinya.









BAB III KERANGKA PENYELESAIAN MASALAH


Para perempuan juga merupakan tulang punggung keluarga yang menopang perekonomian keluarga. Melalui usaha kecil yang mereka lakukan, mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Usaha-usaha kecil yang mereka lakukan cenderung dapat lebih bertahan dalam kondisi system perekonomian yang cukup sulit.
Namun, mereka juga mengalami banyak kendala dalam mengembangkan usahanya. Diantaranya kendala dana, pengetahuan dan keterampilan. Kendala dana memang harus diberikan solusi dengan cara memberikan bantuan dana. Akan tetapi hal itu tidak cukup, karena pemberian dana tanpa pemberian motivasi, pengetahuan dan pendampingan juga akan menciptakan masyarakat yang memiliki budaya matrealistis. Nilai-nilai eunterprenership harus ditumbuh-kembangkan dalam diri mereka.
Di sisi lain masyarakat Perguruan Tinggi banyak memiliki pengetahuan tentang pengembangan usaha. Sehingga kegiatan pengabdian ini diharapkan dapat memberikan motivasi dan pengetahuan kepada ibu-ibu yang menggeluti usaha kecil agar dapat lebih mengembangkan usahanya dan juga jaringan pemasarannya.

















BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN


4.1 Realisasi Pemecahan Masalah
Untuk merealisasi penyelesaian masalah maka tim melakukan identifikasi permasalahn yang dialami oleh ibu-ibu di daerah tersebut. Kemudian tim berusaha untuk memberikan akses bagi kendala dana, dengan cara mempermudah akses mereka terhadap bantuan dana.
Sedangkan untuk kendala pengetahuan maka tim melakukan pembinaan dan pemberian motivasi. Dimana diharapkan dengan adanya pemberian motivasi tersebut, ibu-ibu dapat melakukan perubahan dan pengembangan usaha dengan inisiatif sendiri tanpa dipaksa.
Masalah jaringan pemasaran, dibicarakan bersama oleh mereka. Ada yang memasarkan produknya di took yang dimiliki oleh anggota lain. Kemudian ada pula yang melakukan diversifikasi usaha, selain menjahit dia juga meracang.

4.2 Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran dalam program pengbdian masyarakat ini adalah, para ibu-ibu yang memiliki usaha kecil di Jl. Rasamala Kecamatan Patrang Kabupaten Jember.

4.3 Metode yang digunakan
Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan dengan metode :
1) Ceramah, melalui metode ini dijelaskan secara jelas tentang kredit mikro dan perannya dalam membantu untuk mengembangkan usaha ibu-ibu’
2) Diskusi, melalui metode diskusi ini diharapkan dapat terjadi proses pertukaran informasi antara tim dengan masyarakat setempat, agar diketahui permasalahan-permasalahn yang mereka hadapi;
3) Praktek Lapangan, praktek lapangan maksudnya setelah proses pembinaan ibu-ibu dengan cara langsung mempraktekkan model kredit mikro.
4) Pembinaan Berkala.
Pembinaan berkala ini dilakukan dengan cara memantau perkembangan usaha yang dilakukan oleh ibu-ibu tesebut.
Diharapkan dengan menggunakan metode ini para ibu-ibu dapat lebih memahami tentang kredit mikro dan dan mengembangkan usahanya dengan lebih baik agar perekonomian perempuan menjadi semakin berdaya.
BAB V HASIL KEGIATAN


Program pengabdian masyarakat ini dilakukan dengan cara mengumpulkan ibu-ibu yang mempunyai usaha mikro, mereka dikumpulkan di salah satu rumah penduduk setempat. Kemudian tim memberikan sosialisasi dan pandangan mengenai usaha mikro.
Berdasarkan kesepakatan masyarakat dibentuklah sebuah kelompok yang bernama “KELOMPOK USAHA WANITA MANDIRI”. Dimana peran dari kelompok ini adalah membantu para ibu-ibu untuk mengakses modal usaha, penguatan jaringan pemasaran dan mengembangkan usahanya agar lebih maju.
Hasil dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Ibu-ibu yang memiliki usaha kecil dapat mengidentifikasi dan memetakan permasalahan-permasalahan yang selama ini menjadi kendala dalam pengembangan usahanya. Diantaranya dapat temui, ada yang mengalami kendala modal, kendala pemasaran dan kendala bahan baku. Dengan mengetahui kendala-kendala tersebut, akhirnya tim berusaha untuk memberikan pandangan ataupun solusi agar ibu-ibu dapat mengembangkan usahanya dengan baik. Diantaranya adalah kendala modal, tim kemudian membantu pengaksesan modal. Walaupun modal tersebut kecil, namun yang diharapkan oleh tim adalah dana tersebut dapat sebagai pancingan bagi mereka dalam mengembangkan usahanya.

2. Ibu-ibu dapat membuka jaringan dan metode pemasaran yang lebih luas dan lebih baik.
Diantara beberapa kendala yang dihadapi oleh ibu-ibu pengusaha kecil tersebut adalah masalah pemasaran. Misalnya ada beberapa ibu-ibu yang membuat kerajinan mainan anak-anak. Namun, tim berusaha membantu dengan mengupayakan kerjasama dengan toko-toko khususnya yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Tim juga, mengarahkan ibu-ibu yang berprofesi sebagai welijo untuk membuat pasar kerempeyeng (pasar dadakan). Dimana pasar tersebut merupakan tempat berkumpulnya para ibu-ibu penjual sayur keliling untuk menjajakan dagangannya. Kemudian setelah hari agak siang atau sekitar pukul 07.00 mereka kembali keliling ke rumah pelanggannya.

3. Ibu-ibu dapat mengembangkan skala usahanya melalui peminjaman modal tersebut.
Diantara ibu-ibu pengusaha kecil tersebut, ada yang dapat menambah jenis dagangannya dengan adanya bantuan tambahan modal. Misalnya yang sebelumnya hanya penjahit mulai membuka usaha meracang, dan yang sebelumnya hanya menjual satu jenis mainan kemudian menambah jenis mainan.



























BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
a. Ibu-ibu telah dapat memetakan kendala usahanya, diantaranya kendala modal, kendala pemasaran dan kendala bahan baku.
b. Ibu-ibu telah dapat membuka jaringan pemasaran yang lebih baik, diantaranya dengan memasarkan di toka-toko.
c. Ibu-ibu telah dapat mengembangkan usahanya dengan adanya kredit mikro, diantaranya dengan menambah jenis usahanya dan jenis dagangannya.


6.2 Saran
Berdasarkan hasil dari kegiatan tersebut, dapat disarankan kepada ibu-ibu tersebut; bahwa mereka harus lebih kreatif dan mandiri dalam mengelola usahanya. Misalnya dalam hal jaringan pemasaran, mereka sebaiknya memberdayakan salah seorang diantara mereka atau orang lain untuk menjadi pengepul produk-produk mereka. Kemudian pengepul tersebutlah yang mendistribusikan dagangan-dagangan tersebut ke toko-toko.

TRANSFORMASI PERILAKU KEAGAMAAN (ANALISIS TERHADAP UPAYA PURIFIKASI AQIDAH MELALUI RUQYAH SYAR'IYAH PADA KOMUNITAS MUSLIM JEMBER), SKRIPSI

TRANSFORMASI PERILAKU KEAGAMAAN
(ANALISIS TERHADAP UPAYA PURIFIKASI AQIDAH MELALUI
RUQYAH SYAR'IYAH PADA KOMUNITAS MUSLIM JEMBER)

A. PENDAHULUAN
Agama merupakan suatu fenomena yang bersifat universal, hampir semua individu, masyarakat dan juga negara mengenal agama. Setiap agama memiliki konsep, ritual dan juga makna tersendiri yang berbeda dengan agama lain. Walaupun dalam tataran konsep, ritual, dan makna berbeda, namun agama tetap menjadi sebuah nilai yang sangat penting dalam masyarakat.
Dalam setiap agama selalu ada sebuah objek yang diagungkan oleh penganutnya. Objek tersebut berada di luar diri manusia yang kemudian menjadi suatu hal yang diyakini di kalangan ummat agama tersebut. Demikian juga dengan agama islam, konsepsi Islam mengenai sesuatu yang berada di luar diri manusia dikenal dengan konsep ke “ghaib”an. Konsep tentang keghaiban diatur dalam prinsip aqidah Islamiah yang tercermin dalam rukun iman.
Dalam agama islam diatur, bahwa yang paling berhak disembah adalah Allah. Menyembah selainnya dikategorikan sebagai bentuk kesyirikan. Kesyirikan merupakan sikap menyekutukan Tuhan dengan selain-Nya. Sehingga sanksinya sangat jelas, bahkan dikatakan bahwa dosa yang tidak bisa diampuni adalah dosa syirik kecuali pelakunya bertaubat sebelum meninggal.
Ajaran agama Islam secara tegas melarang ummatnya untuk percaya dan meminta pertolongan kepada selain Tuhan, terlebih kepada dukun, peramal maupun paranormal. Karena memintai dan mempercayai dukun dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Perilaku syirik dalam agama Islam berkosekuensi terhadap pertaruhan aqidah keagamaan.
Namun, dalam kenyataannya masyarakat tidak pernah lepas dari pengaruh realitas sekelilingnya. Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat telah hidup dengan kepercayaan berdasarkan animisme dan dinamisme. Dimana benda-benda dan tumbuh-tumbuhan menjadi sesuatu hal yang sakral dan dihormati sebagai sebuah hal yang memiliki nilai supranatural.
Hasil penelitian Bustami Rahman di desa Lintang Kulon, Jawa Tengah mengemukakan bahwa masyarakat desa yang beragama Islam sangat terpengaruh dengan filsafat dan kepercayaan adat masyarakat lokal. Menurut hasil penelitian Bustami, terdapat tiga sub varian dalam masyarakat yakni:
1. Sub varian abangan. Sub varian ini menganut agama islam dan menggunakan falsafah hidup sangkan paraning dumadi.
2. Sub varian yang kedua yaitu masyarakat muslim yang masih menekankan pada system kepercayaan pada pemujaan roh-roh para leluhur.
3. Sub varian yang ketiga adalah mereka yang mensinkretisasi pemujaan roh para leluhur dengan syariat agama Islam.
Konsep tentang mitos, hantu, kuntilanak, tempat angker, memedi, lelembut, tuyul dan sebagainya telah mendominasi hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia. Hampir semua suku mempunyai konsep dan pencitraan tersendiri tentang hal tersebut. Hal itu bertahan dalam konsep kehidupan masyarakat karena diwariskan secara turun temurun dalam keluarga. Bahkan selalu disosialisasikan sebagai dongeng pengantar tidur.
Hasil penelitian Clifford Geertz (Ruslani, 2003:63) menguraikan tiga pokok jenis makhluk halus yang dipercayai oleh sebagian besar orang Jawa: memedi (secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus) dan tuyul. Dalam masyarakat Bali dikenal yang namanya leak, dalam masyarakat Lombok dikenal yang namanya dewa, demikian juga dengan daerah-daerah yang lain selalu mempunyai konsep tersendiri tentang makhluk gaib.
Dalam tataran perilaku, maraknya fenomena perdukunan, pesugihan, jimat dan bekal-bekalan di kalangan masyarakat dan sebagainya merupakan suatu fenomena yang menjadi realitas dalam masyarakat Indonesia. Bahkan menurut Ruslani (2003:147) terdapat banyak tempat yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Jawa yaitu Gunung Kawi di Jawa Timur, gunung kemukus di Kedung Ombo, Jawa Tengah, dan gunung Guci di Slawi, Jawa Tengah.
Kepercayaan atas kekuatan roh atau mitos tertentu merupakan bentuk lain pengaruh adat istiadat dan budaya terhadap sistem kepercayaan masyarakat muslim. Wujud kepercayaan tersebut semisal upacara nyadran atau juga dikenal dengan sebutan petik laut. Upacara ini ditujukan untuk memberikan penghormatan dan sesembahan kepada penguasa laut yang dikenal dengan Nyi Roro Kidul.
Di daerah Jember Jawa Timur, masyarakat sering mengadakan ritual sumpah pocong sebagai sebuah solusi untuk menentukan kebenaran. Ritual ini biasanya dilakukan ketika masyarakat berselisih dan saling tuduh menuduh terhadap teman, saudara atau tetangga mereka yang dianggap telah menyantet seseorang sehingga menyebabkan sakit yang tak kunjung sembuh dan susah diidentifikasi secara medis.
Kepercayaan masyarakat yang sangat mendalam terhadap nilai-nilai budaya setempat juga terlihat dalam upaya pengobatan penyakit. Masyarakat Indonesia hampir seluruhnya mengenal dukun sebagai juru sembuh alternatif. Khususnya untuk penyakit-penyakit yang dianggap disebabkan oleh sihir. Ilmu sihir selalu dikaitkan dengan dukun sebagai pihak yang menguasai kekuatan sihir.
Dalam dunia pengobatan masyarakat mengenal dukun sebagai juru sembuh alternatif. Walaupun pengobatan secara medis atau kedokteran telah masuk dalam berbagai lapisan masyarakat, namun sebagian masyarakat tetap menjadikan dukun sebagai juru sembuh alternatif. Penyakit-penyakit yang tidak bisa dideteksi dan disembuhkan di rumah sakit dibawa ke dukun. Hasil dari berobat ke dukun sangat membantu masyarakat khususnya untuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan di rumah sakit. Selain itu secara ekonomi berobat ke dukun lebih murah daripada ke dokter.
Dalam konsep agama islam, mendatangi dan meminta pertolongan kepada dukun sangat dilarang. Hal itu karena dalam kerjanya dukun sering bekerjasama dengan jin sebagai perewangan (khadam/patner) dan tukang sihir. Secara umum profesi dukun sebenarnya telah memiliki konotasi negatif sejak zaman jahiliyah. Sehingga tatakala orang-orang musyrik jahiliyah ingin menjauhkan manusia dari Nabi, mereka sebarkan isu dan mereka memberi gelar “kahin” (dukun) atau sahir (tukang sihir) agar orang-orang menjauh dari Nabi. (Ruslani, 2003:248)
Pergesekan antara nilai budaya dan adat istiadat dengan agama menumbuhkan diskursus baru tentang upaya pemurnian agama. Perbedaan pandangan dalam menyikapi pengaruh perkembangan nilai adat dan budaya atas tatanan agama menimbulkan adanya friksi dalam suatu agama. Salah satu golongan mempertahankan ajaran agama secara tekstual, kelompok lain lebih mengakomodasi perkembangan adat istiadat dan budaya.
Sebagian masyarakat muslim yang tidak dapat menerima pengaruh adat istiadat dan budaya dalam kehidupan beragama berupaya untuk “membersihkan” ajaran agama islam dari unsur-unsur tersebut. Kelompok ini dikarakterkan oleh ide dan tindakan memperbaharui atau memurnikan ajaran islam dari unsur budaya. Kelompok pembaharu (pemurnian) ini berupaya menghilangkan kepercayaan kepada tempat khusus, roh, mitos dan makhluk halus lainnya. Selain itu kepercayaan terhadap dukun sebagai penyembuh penyakit.
Kelompok pemurnian mengenalkan sistem pengobatan alternatif, yaitu dengan ruqyah syar’iyah. Merupakan suatu metode pengobatan secara non medis dengan bacaan Al-Quran dan doa sebagai upaya untuk mengobati penyakit fisik dan non fisik (hati). Di sisi lain metode pengobatan ini menurut kelompok pemurnian ditujukan untuk meluruskan aqidah masyarakat yang selama ini mempercayai hal ghaib tidak sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Banyaknya masyarakat Jember yang tertarik mengikuti dan menyelenggarakan ruqyah syar'iyah merupakan suatu fenomena yang menarik untuk diteliti. Khususnya berkenaan dengan penyebab ketertarikan masyarakat terhadap ruqyah syar'iyah, alasan masyarakat memilih ruqyah syar'iyah, kualifikasi pelaksanaan ruqyah syar’iyah sebagai metode penyembuhan dan sebagai upaya peningkatan keimanan serta pemurnian agama.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini ada tiga yaitu,
1. Mengapa sebagian komunitas muslim di Jember melakukan ruqyah syar'iyah sebagai upaya purifikasi aqidah?
2. Bagaimanakah mekanisme pengembangan transformasi perilaku keagamaan melalui ruqyah syar'iyah?
3. Bagaimanakah dampak ruqyah syar'iyah sebagai upaya purifikasi nilai-nilai keagamaan?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penyebab dikembangkannya praktek ruqyah syar’iyah sebagai upaya purifikasi aqidah;
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan mekanisme pengembangan transformasi perilaku keagamaan melalui ruqyah syar’iyah;
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan dampak ruqyah syar’iyah sebagai upaya purifikasi nilai-nilai keagamaan bagi komunitas muslim Jember.


D. TINJAUAN PUSTAKA
a. Konsep dan sejarah Ruqyah Syar’iyah
Ruqyah syar’iyah adalah bacaan yang terdiri dari ayat al-qur’an dan hadits yang shahih untuk memohon kepada Allah akan kesembuhan orang yang sakit (Bishri, 2004:17). Sebenarnya ruqyah terdiri atas ruqyah syar’iyah dan ruqyah sirkiyyah. Karakteristik ruqyah sya’iyah dan ruqyah sirkiyyah menurut Bhisri (2004:22) adalah:
Ruqyah syar’iyah memohon pertolongan kepada Allah dengan cara dan bacaan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan ruqyah sirkiyyah memohon bantuan kepada selain Allah atau memohon kepada Allah dan kepada selain Allah dan bacaannya pun tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Walaupun kadang-kadang caranya mirip dengan ruqyah syar’iyah atau mengkombinasikan antara ruqyah sya’iyah dan ruqyah sirkiyyah, dengan begitu pelakunya telah mencampurkan antara yang haq dengan yang batil, dan perbuatan seperti itu sangat disukai oleh setan.

b. Kerangka Teori
Besarnya pengaruh adat istiadat dan budaya dapat bersinggungan dengan konsep keimanan atas suatu hal ghaibdalam agama. Sehingga pengaruh adat istiadat dan budaya dimungkinkan bersaing dengan nilai-nilai agama yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, dalam menanggapi pergesekan tersebut terdapat upaya untuk memurnikan perilaku keagamaan masyarakat.
Ruqyah syar’iyah merupakan upaya transformasi perilaku keagamaan yang ditujukan untuk terapi pengobatan melainkan sebagai purifikasi atau pemurnian aqidah masyarakat. Transformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan rupa, bentuk, sifat dan sebagainya. Oleh karena itu transformasi juga merupakan perubahan sosio-kultural. Transformasi perilaku keagamaan yang dimaksud adalah melihat pergeseran perilaku keagamaan masyarakat, dari perilaku sinkretis menuju perilaku puritan.
Dalam perubahan sosio-kultural menurut Hanafi (1981: 16) terdiri dari tiga tahap berurutan yaitu, 1) invensi, yaitu suatu proses penciptaan ide-ide baru, 2) difusi, proses pengkomunikasian nilai-nilai tersebut ke dalam masyarakat (sosialisasi), 3) konsekuensi, perubahan yang terjadi.
Berdasarkan tiga tahapan di atas maka peneliti membagi pembahasan menjadi tiga pokok; pertama proses penciptaan ide-ide baru, dalam hal ini berkaitan dengan alatar belakang ruqyah syar’iyah. Kedua, berkaitan dengan proses pengkomunikasian ide-ide (nilai-nilai) tersebut kepada masyarakat (proses sosialisasi). Ketiga, berkaitan dengan konsekuensi dari nilai-nilai yakni dampak ruqyah syar’iyah bagi masyarakat dalam hal ini hasil dari proses transformasi perilaku.
Dalam proses pencarian ide-ide atau eksternalisasi nilai untuk memberi solusi atas kondisi yang ada di masyarakat, maka ruqyah syariyah sebagai mekanisme transformasi merupakan penciptaan ide-ide baru (dalam hal ini di Indonesia) sebagai alternatif pengobatan. Selanjutnya ide tersebut diobjektivasi oleh kelompok pemurnian sebagai kenyataan objektif dalam bingkai pengobatan alternatif. Selanjutnya adalah proses internalisasi, dimana proses ini merupakan mekanisme penanaman nilai dan merubah perilaku masyarakat. Penanaman nilai akan berhasil apabila masyarakat telah mau meninggalkan perilaku lama dan menerima perilaku baru dalam hal ini ruqyah syariyah sebagai metode pengobatan alternatif.
Dalam menganalisa hasil penelitian penulis menggunakan teori Berger dan Luckman yaitu teori eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi menunjuk pada proses kreatif manusia, objektivasi menunjuk pada proses dimana hasil-hasil aktivitas kreatif tersebut mengkonfrontasi individu sebagai kenyataan objektif, dan internalisasi menunjuk pada proses dimana kenyataan eksternal itu menjadi bagian dari kesadaran subyektif individu atau internalisasi terjadi melalui proses sosialisasi.
Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui ekternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Masyarakat dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi (Berger dalam Kahmad, 2002:54-55)

Berger berhujjah bahwa realitas social harus dilihat sebagai penataan pengalaman. Masyarakat melegitimasi tindakan-tindakan mereka dengan merujuk kepada tradisi-tradisi, sains atau agama. Ketika legitimasi sudah diakui secara umum maka mereka akan menggunakan pengaruhnya untuk menciptakan struktur kredibilitas. Agama, sebagai falsafah hidup menciptakan legitimasi tertinggi dan mempengaruhi system makna serta memunculkan factor baru yang penting untuk perubahan.

E. HASIL PENELITIAN
1. Penyebab Dikembangkannya Praktek Ruqyah Syar’iyah Sebagai Upaya Purifikasi Aqidah
Masyarakat merupakan suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan golongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Keseluruhan ini dinamakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah (Iver dan Page dalam Soekanto, 2001).
Masyarakat merupakan tempat bercampuraduknya berbagai macam nilai, baik nilai agama, budaya, adat istiadat maupun kepercayaan. Dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, terdapat berbagai macam bentuk perilaku beragama masyarakat. Berbagai macam bentuk perilaku keagamaan tersebut mengkotakkan masyarakat berdasarkan praktik-praktik keagamaan.
Demikian juga halnya di Jember, masyarakat terkotakkan menjadi dua, yaitu masyarakat sinkretis dan kelompok pemurnian. Masyarakat sinkretis, adalah masyarakat yang beragama Islam tetapi percaya kepada dukun, roh leluhur, paranormal, tukang sihir, arwah penasaran, dan lain-lain. Dalam perilaku keagamaan mereka masih memberikan sesajen untuk tempat-tempat yang dianggap keramat, masih mendatangi dukun untuk meminta pengobatan, masih mendatangi tempat-tempat angker untuk pesugihan, melakukan sihir, bekal-bekalan dan lain sebagainya.
Kelompok yang kedua adalah kelompok pemurnian, yaitu kelompok yang berusaha menjalankan ajaran agama islam secara tekstual dan jargon utamanya adalah kembali ke al-Quran dan Hadits. Kelompok ini cenderung bersikap tidak akomodir terhadap kepercayaan masyarakat yang bersumber dari nilai budaya dan adat istiadat. Para pengkaji islam di Indonesia menyebut mereka sebagai bagian dari gerakan puritan, sebagian lagi menyebutnya islam reformis, islam modern dan yang lain menyebutnya Islam pembaharu.
Sejumlah warga masyarakat muslim Jember yang tidak menerima nilai budaya dan adat istiadat berusaha untuk mempertahankan ajaran Islam secara tekstual dan berupaya memurnikan aqidah masyarakat yang terlihat dalam perilaku beragama. Menurut mereka aqidah masyarakat selama ini telah banyak bercampur dengan nilai budaya dan adat istiadat. Dimana nilai budaya dan adat istiadat tersebut dianggap bertentangan dengan konsep aqidah islam. Kelompok pemurnian menganggap aqidah yang bercampur aduk dengan adat istiadat mengandung kesyirikan, dalam hal titual dianggap bid’ah dan dalam muammalah dianggap khurafat.
Maraknya fenomena mistik atau perdukunan di Jember, terlihat dari banyaknya tindakan sumpah pocong yang dilakukan oleh masyarakat. Hal itu menunjukkan bahwa ternyata masyarakat banyak yang menganggap bahwa penyakit-penyakit tersebut disebabkan oleh dukun, walaupun sangat susah sekali membuktikannya. Selain kepercayaan terhadap dukun,masyarakat banyak yang mengkeramatkan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Benda-benda tersebut dikenal dengan sebutan jimat. Manusia menggunakan jimat sebagai upaya mendapatkan perlindungan dari gangguan-gangguan manusia jahat atau makhluk halus. Jimat tidak hanya berbentuk benda-benda aneh, bahkan ayat-ayat al-Qur’an, tanah, batu, keris dan sebagainya sering dijadikan jimat. Seperti yang ditemukan oleh Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto (dalam Ruslani, 2003:105-106) ada 14 jenis dukun yang terdapat dalam masyarakat.
Ketidaksesuaian pemahaman antara masyarakat pada umumnya dengan kelompok pemurnianlah yang menjadi penyebab dikembangkannya suatu upaya pemurnian. Gerakan-gerakan antusiasme keagamaan dalam upaya membangkitkan kembali nilai-nilai agama (revivalisme) mulai banyak bermunculan, mulai dari upaya intensifikasi keislaman, islamisasi organic, islamisasi sistemik, fundamentalisme, militanisme dan radikalisme. (Azra, 1999:47).
Menurut Madjid (2000:552) sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsure terjadinya transformasi social suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan islam. Karena itu kedatangan islam di suatu negeri dapat bersifat destruptive.
Menurut kelompok pemurnian (tim peruqyah) metode pengobatan yang dilakukan oleh dukun disebut sebagai ruqyah syirkiyyah. Yaitu metode pengobatan yang menggunakan bantuan makhluk halus, kemenyan, bunga, keris dan sebagainya. Menurut kelompok pemurnian, masyarakat melakukan itu karena tidak mengetahui bagaimana hukum mendatangi dukun. Sehingga sangat penting sekali untuk member pemahaman dan merubah perilaku masyarakat dengan cara memberikan alternative pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus atau oleh sihir, yaitu melalui terapi pengobatan ruqyah syar’iyah.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan:
Selama ini banyak kesyirikan di masyarakat dan banyak kyai yang hanya mengatakan bahwa syirik itu haram, pergi ke dukun itu hukumnya tidak diterima sholatnya selama 40 hari, namun belum ada solusi yang diberikan secara konkrit. Oleh karena itu tim peruqyah menawarkan konsep yang selama ini telah ada di zaman nabi, namun tidak dikenal di Indonesia.
Masyarakat Jember sebagai bagian dari masyarakat Indonesia merupakan kalangan masyarakat muslim yang memiliki nuansa mistis yang sangat kuat dan perilaku beragama yang sinkretis. Warisan leluhur tentang nilai sakral, tabu dan kepercayaan terhadap hal mistis masih melekat erat dalam budaya masyarakat, termasuk pada benda keramat, pesugihan, dukun dan sebagainya.
Berdasarkan kondisi diatas maka tujuan dikembangkannya ruqyah syariyah adalah:
a. Melawan setan dan memurnikan aqidah
Kelompok pemurnian berpandangan bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia, karena setan akan berusaha mengajak manusia untuk bermaksiat kepada Allah. Setan dalam konsep agama Islam akan berusaha dengan cara apapun untuk menggoda manusia, hal itu telah diikrarkan oleh bebuyutnya –iblis-, ketika Allah mengusir mereka dari surga.
Berdasarkan sejarah perkembangan gerakan islam, selama ini wacana yang dibawa oleh kelompok pembaharu (pemurnian) adalah wacana kebenaran tunggal. Yang dimaksud dengan wacana kebenaran tunggal adalah pertama bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridloi Allah dan kedua, bahwa berbagai praktek local seperti bid’ah, takhyul, khurafat dan syirik adalah tidak berdasarkan islam .
Aneka ragam bentuk perilaku keagamaan masyarakat selama ini telah dikenal bercampurbaur dengan konsep budaya dan adat istiadat. Resep-resep yang lahir dari sinkretisme antara budaya dengan agama melahirkan bentuk baru yang dipraktekkan dan diyakini oleh penganutnya.
Tim peruqyah sebagai suatu komunitas yang lahir atas dasar keprihatinan terhadap kondisi aqidah masyarakat, menawarkan bentuk baru sebagai alternative pengobatan. Menawarkan konsep baru sebagai bentuk yang ideal dan “benar” dalam konsep pemahaman keagamaan mereka sebagai sebuah upaya pemurnian aqidah dari praktek adat ke konteks Islami.
Tentu saja “Islam” yang mereka tawarkan, dibentuk, dilahirkan dan dimunculkan dari sebuah kesadaran yang mana kesadaran-kesadaran tersebut memiliki sumber. Kesadaran tersebut merupakan hasil analisa dan interpretasi atas berbagai realitas social budaya yang dikaitkan dengan nilai yang seharusnya. Nilai-nilai atau dogma tersebut merupakan sumber dan panduan gerakan mereka.

b. Sebagai upaya menghidupkan kembali sunnah Nabi
Dalam kerangka ini ruqyah syar’iyah ditujukan untuk memurnikan kembali aqidah ummat Islam khususnya masyarakat muslim Jember, dari bid’ah, takhyul, khurafat, kesyirikan serta kemaksiatan. Menurut para peruqyah selama ini masyarakat telah banyak meninggalkan ajaran-ajaran pokok dalam agama islam sehingga solusi yang diberikan adalah kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah.
Ruqyah syar’iyah sebagai sebuah upaya untuk meluruskan kembali aqidah masyarakat dari kepercayaan-kepercayaan terhadap hal ghaib yang diklaim bertentangan dengan konsep islam otentik, dilakukan melalui terapi keimanan. Upaya-upaya untuk meluruskan kembali aqidah masyarakat dan mengajak kepada Al-Qur’an dan Sunnah menurut Dawam Rahardjo adalah merupakan gerakan puritanisme . Puritanisme merupakan sikap dan keinginan untuk selalu menghadirkan dan mempraktekkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
c. Sebagai metode dakwah efektif
Ketika realitas objektif telah terbentuk, maka selanjutnya yang dilakukan oleh kelompok tersebut adalah proses internalisasi nilai kepada masyarakat. Proses internalisasi nilai dalam kelompok ini dikenal dengan istilah dakwah. Dakwah menurut Arifin (2000:6) adalah:
Dakwah mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan dan pengamalan ajaran agama sesuai pesan yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.
Secara sosiologis dakwah merupakan upaya untuk mentransmisikan nilai kepada masyarakat dengan cara sosialisasi ide-ide. Sosialisasi ide tersebut sebagai upaya untuk mentransmisikan nilai ideal. Dalam proses demikian, interaksi antar nilai ideal dengan tradisi local memungkinkan adanya dialog antar orientasi nilai masing-masing.
Ruqyah syar’iyah tidak hanya sebuah metode pengobatan, namun lebih dari itu merupakan sarana sosialisasi nilai yang sangat efektif untuk memahamkan masyarakat tentang konsep ideal agama islam. Kegiatan tersebut mampu mentransfer pemikiran-pemikiran untuk memperbaharui konsep sinkretisme yang dipahami oleh masyarakat.
Selain dilakukan secara pribadi, ruqyah juga dilakukan secara missal. Hal itu dilakukan sebagai sarana yang sangat efektif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Jumlah peserta yang banyak memudahkan dalam pemberian pemahaman secara menyeluruh.
Dalam proses sosialisasi terjadi sebuah interaksi antara satu individu dengan individu lain. Interaksi social diartikan sebagai bentuk hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku seseorang dirubah oleh orang lain.
2. Mekanisme Pengembangan Transformasi Perilaku Keagamaan Melalui Ruqyah Syar’iyah
Dalam upaya pengembangan nilai-nilai keagamaan agar diterima oleh masyarakat, berbagai cara digunakan diantaranya sebagai berikut:
a. Transferensi nilai dan dekulturasi budaya
Manusia dalam hubungannya dengan masyarakat mempunyai hubungan dialektik, dalam kehidupan sehari-hari manusia memiliki dimensi obyektif dan subyektif. Manusia sebagai individu kreatif adalah pencipta kenyataan social yang obyektif melalui proses ekternalisasi.
Demikian juga dengan ruqyah syar’iyah, yang dikembangkan sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai islam. Upaya untuk menciptakan realitas obyektif dilakukan melalui ektrenalisasi, yakni kegiatan kreatif individu-individu yang membentuk realitas obyektif yaitu masyarakat islami. Proses ekternalisasi dilakukan melalui upaya menginterpretasikan kembali tradisi-tradisi dalam kaitannya dengan sinkretisme dan juga tradisi manakah yang merupakan nilai keagamaan. Para tim peruqyah berupaya meluruskan kembali aqidah masyarakat yang telah terbengkokkan oleh sinkretisme. Maka dalam proses tersebut tim peruqyah berkeinginan untuk menciptakan masyarakat yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits, serta berperilaku sesuai dengan aturan syariat.
Melalui meknisme pengobatan ruqyah syar’iyah yang telah menjadi kenyataan objektif, kembali diinternalisasikan nilai-nilai kepada individu-individu dalam masyarakat, oleh karena itu proses transformasi tidak terlepas dari proses sosialisasi. Menurut Sanderson (1995) dalam Ridjal (2004:101) “sosialisasi merupakan suatu proses dimana manusia berusaha menyerap isi kultur yang berkembang di tempat kelahirannya”. Dengan demikian proses transformasi perilaku keagamaan berkaitan erat dengan kultur yang dibawa oleh individu yang akan menerima transfer ide-ide atau nilai baru tersebut.
Dalam proses transformasi perilaku maka implikasinya adalah terjadi upaya dekulturasi kultur dan juga ekstinksi budaya. Dekulturasi budaya berkaitan dengan upaya untuk menghilangkan nilai-nilai lama dan mengkondisikan masyarakat untuk menerima nilai-nilai baru yang lebih ideal. Budaya-budaya lama yang bertentangan dengan konsep baru yang ideal dianggap tidak layak hidup di masyarakat. Dekulturasi berkonsekuensi pada ekstinksi (pemunahan) budaya lama. Itu mengapa pergi ke dukun, memakai jimat, meminta bantuan tukang sihir dan sebagainya menjadi sebuah persyaratan mutlak untuk ditinggalkan.
Jimat misalnya, pada saat pelaksanaan ruqyah syar’iyah tidak hanya diserahkan tetapi harus dimusnahkan. Bahkan dijual saja tidak boleh. Hal itu tidak hanya berkaitan dengan pemusnahan benda yang diyakini, namun lebih pada pengkonstruksian kembali pemikiran masyarakat akan tidak berharganya dan tidak berdayanya benda-benda tersebut.
Ketika seseorang telah mau dan berani membakar jimatnya maka saat itu dia telah siap meninggalkan apa yang selama ini dianggapnya sebagai pelindung, penglaris, pemudah segala urusannya dan sebagainya. Namun, ketika seseorang masih ragu-ragu maka kemauan dan keberaniannya untuk meninggalkan praktek lama masih dipertanyakan. Oleh karena itu, tim peruqyah sangat menekankan untuk menghindari keterlibatan dengan hal-hal yang bersifar bid’ah, takhyul, khurafat dan juga menjaga diri dari kemaksiatan.
Pada proses ini terjadi upaya pemberian nilai yang negative terhadap sikap hidup masyarakat yang bertentangan dengan akidah keislaman. Sehingga dekulturasi adalah sebagai upaya untuk merubah masyarakat dan upaya untuk memurnikan kembali aqidah masyarakat.
b. Transformasi tradisi dan strategi pengobatan alternatif
Transformasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah perubahan rupa, bentuk, sifat dan sebagainya. Dalam perubahan membutuhkan upaya sosialisasi dan strategi. Ruqyah syar’iyah dalam upaya melakukan purifikasi aqidah memakai strategi pengobatan alternatif.
Penghancuran patung, lukisan dan juga jimat merupakan bentuk konkrit kesungguhan untuk melangkah melakukan perubahan. Patung, lukisan dan jimat seringkali pelindung atau bahkan dipuja. Islam memandang pemujaan terhadap benda-benda tersebut adalah bertentangan dengan akidah.
Upaya untuk mentranformasi tradisi selain dilakukan dengan melarang masyarakat untuk meminta pertolongan dukun dan memberi alternatif pengobatan yang lebih sesuai dengan akidah keislaman. Dilakukan juga ritual wudlu. Wudlu ditujukan sebagai sebuah upaya untuk mensucikan diri dari na’jis dan lebih dari itu berwudlu mempunyai makna membersihkan jiwa dan raga dengan berharap selalu dilingkupi kesucian. Ketika akan diruqyah peserta diminta untuk berwudlu terlebih dulu

3. Dampak Ruqyah Syar’iyah Sebagai Upaya Purifikasi Nilai-Nilai Keagamaan Bagi Komunitas Muslim Jember
a. Dampak positif
Beberapa informan mengaku mendapatkan dampak yang positif dari terapi pengobatan ruqyah syar’iyah. Berikut beberapa dampak positif yang dirasakan oleh beberapa informan:
1) Peningkatan kadar keimanan
2) Peningkatan intensitas ibadah
3) Meninggalkan perilaku pengkultusan terhadap benda pusaka, mantra-mantra, kepercayaan yang berlebihan terhadap tradisi, dan pengkultusan terhadap kyai.
b. Dampak negatif

LEMAHNYA INTERNALISASI NILAI-NILAI DALAM KELUARGA (ANALISA TERHADAP MENINGKATNYA ANGKA BUNUH DIRI PADA MASYARAKAT INDONESIA)

LEMAHNYA INTERNALISASI NILAI-NILAI DALAM KELUARGA
(ANALISA TERHADAP MENINGKATNYA ANGKA BUNUH DIRI PADA MASYARAKAT INDONESIA)

ABSTRACT
Bunuh diri adalah sebuah fenomena yang sangat marak pada masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Seolah-olah ini merupakan sebuah cara yang paling jitu dalam menyelesaikan sebuah masalah. Tingginya tingkat beban hidup menyebabkan semakin meningkatnya perilaku ini. Upaya menangani berbagai persoalan hidup tergantung pada bagaimana sudut pandang individu itu. Sudut pandang tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam hal, diantaranya karakter kepribadian, kematangan emosional, keluarga, media massa, lingkungan pergaulan, kondisi sosial politik dan budaya yang ada pada masyarakatnya. Individu terutama anak-anak sering merasa tidak aman dan tidak berharga, oleh karena itu sebuah lembaga yang sangat berperan penting dalam memberikan rasa aman dan rasa berharga itu adalah keluarga. Fungsi proteksi dan afeksi, selain fungsi sosialisasi (internalisasi nilai-nilai) adalah fungsi yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian seorang anak, untuk kesiapannya dalam menghadapi dunia sosialnya.
Key Word: Bunuh diri, keluarga, fungsi proteksi, fungsi afeksi, fungsi sosialisasi, internalisasi
Suicide is a very widespread phenomenon in Indonesian society lately. As if this is a most effective way to solve a problem. The high level of burden caused the increasing of this behavior. Efforts to deal with various issues of life depends on how the individual perspective. Perspective is influenced by a variety of things, including personality traits, emotional maturity, family, media, environment, culture, political and social conditions existing culture in society. Individuals especially children often feel insecure and worthless, because it's an institution that is very important in providing a sense of security and sense of worth that is the family. The function of protection and affection, in addition to the socialization function (internalization of values) is a very important function for the formation of a child's personality, for readiness in facing the social world.
Key Word: suicide, family, protection function, affective functions, the function of socialization, internalization

1. Latar belakang
Akhir-akhir ini angka bunuh diri pada masyarakat Indonesia semakin meningkat. Hal itu terlihat dari adanya peningkatan dari segi jumlah (angka) orang yang meninggal karena bunuh diri (comite suicide), maupun pada jumlah orang yang melakukan upaya percobaan bunuh diri (attemp suicide). Menurut Dosen Kesehatan Mental Universitas Tri¬sakti Ahmad Prayitno mengatakan, se-ba¬nyak 50 ribu orang Indonesia bunuh di¬ri tiap tahunnya. Jumlah itu sama dengan jumlah penduduk yang meninggal akibat overdosis psikotropika dan zat terlarang.
Indonesia berada di angka rata-rata bu¬nuh diri dunia yang hanya 15, 1 dari total pen¬duduk. Angka bunuh diri terparah di Chi¬na dengan angka lebih dari 250 ribu pen¬duduknya bunuh diri setiap tahun. Sedangkan Jepang yang dijuluki bang¬sa bunuh diri lebih dari 30 ribu pen¬du¬duk¬nya bunuh diri setiap tahun. Saat ini be¬berapa negara mempunyai angka bu¬nuh diri yang cukup tinggi, seperti Li¬thua¬nia (45,6 orang dari tiap 100 ribu pen¬du¬duk) dan Rusia (41,6 dari 100 ribu pen¬du-duk).
Jika dihitung secara global, ada 1 juta orang di dunia yang bunuh diri setiap ta¬hun. Itu berarti ada 1 orang setiap 40 detik yang bunuh diri. Bunuh diri merupakan satu dari tiga penyebab kematian tertinggi pada 15-34 tahun. Percobaan bunuh diri men¬capai 20-50 juta orang pertahunnya. Berdasarkan data dari Direktur World Health Organization (WHO) Bidang Ke¬se¬hatan Mental dan Kekerasan, Benedetto Sa¬raceno pada 2005, jumlah rata-rata pen¬duduk Indonesia yang meninggal akibat bu¬nuh diri mencapai 24 orang dari 100 ribu penduduk. Jumlah itu lebih besar dari¬pada jumlah yang terdata di kamar jenazah.
Sementara pada lima tahun terakhir, berdasarkan data yang diluncurkan forensik FKUI/RSCM 2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri dan 348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah tersebut, 41 persen melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri, dengan menggunakan insektisida 23 persen, dan overdosis mencapai 356 orang.
Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya.
Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi, delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang akibat depresi. Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada 11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga kasus.
Sementara berdasarkan data dari Sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis menunjukkan, di Indonesia tidak ada data nasional secara spesifikasi tentang bunuh diri. Namun laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.
Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun), untuk jenis kelamin, laki laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak dari perempuan. Namun, perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) empat kali lebih banyak dari laki laki.
Semakin tingginya kecenderungan bunuh diri tersebut menimbulkan suatu pertanyaan besar. Khususnya berkaitan dengan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dengan alasan yang sangat sederhana. Oleh karena itu, menarik sekali untuk mempelajari dan menganalisa kasus-kasus bunuh diri tersebut. Mengapa hal itu bisa terjadi pada masyarakat Indonesia yang mana ikatan sosialnya masih sangat tinggi? Mengapa hal itu seolah menjadi trend akhir-akhir ini? Ada apa dengan nilai-nilai dan tatanan sosial masyarakat kita?. Terdapat sebuah hipotesa atau asumsi yang ingin dikaji oleh penulis yaitu apakah terdapat sebuah kaitan antara internalisasi nilai-nilai dalam keluarga terhadap kecenderungan bunuh diri. Hal itu dikarenakan banyak orang yang melakukan upaya bunuh diri, diawali dengan adanya stress yang cukup tinggi. Dimana stress tersebut berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola emosi. Pola-pola dalam manajemen emosi dan sikap perilaku banyak dibentuk oleh keluarga. Pewarisan nilai-nilai dan pembentukan kepribadian sebagian dilakukan dalam lingkup keluarga. Sehingga sangat menarik sekali untuk mengkaji masalah tersebut.
2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka terdapat beberapa rumusan masalah yang dapat diajukan untuk menganalisa kasus-kasus bunuh diri tersebut. Berikut beberapa rumusan masalah yang harus dijawab dalam tulisan ini:
a. Apakah yang menyebabkan seseorang melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) dan atau melakukan bunuh diri (comite suicide)?
b. Bagaimanakah peran dan fungsi pranata sosial dalam menginternalisasi nilai-nilai ke dalam diri individu-individu?
c. Mengapa Indonesia termasuk negara yang menduduki peringkat yang tinggi dalam hal bunuh diri?


3. Manfaat penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah:
1. Diharapkan dapat menjadi referensi wacana ke depan dalam menganalisa fenomena-fenomena bunuh diri di masyarakat.
2. Diharapkan hasil dari tulisan ini dapat memberikan masukan dalam mengatasi problem-problem sosial khususnya masalah bunuh diri di masyarakat.

4. Pokok kajian
Pokok kajian dalam tulisan ini adalah memfokuskan pada pendataan tentang faktor-faktor atau motif-motif yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Hal ini sangat penting untuk menganalisa akar masalah dari kasus-kasus bunuh diri yang terjadi. Selanjutnya setelah diketahui akar masalahnya, maka kajiannya akan difokuskan pada pokok permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini akan dilihat yang lebih cenderung, hal itu untuk memudahkan penulis dalam menganalisa dan memetakan solusi-solusi.
5. Kerangka analisis
Kerangka analisis dalam penulisan ini menggunakan penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau terminologi Weber dikenal dengan istilah verstehen. Dengan metode ini peneliti berusaha untuk menginterpretasikan tindakan aktor. Hal itu dapat dilakukan dengan kesungguhan, dengan mencoba menyelami dan mengenangkan pengalaman si aktor. Peneliti berusaha menempatkan diri (berempati) dalam posisi si aktor serta mencoba memahami barang sesuatu yang difahami oleh aktor.
6. Kerangka teori
Dalam penulisan ini penulis melakukan analisa dengan menggunakan beberapa teori yang dianggap sesuai dengan subyek analisa. Untuk menganalisa tindakan aktor bunuh diri, penulis menggunakan teori fenomenologi sedangkan untuk menganalisa peran dan fungsi pranata sosial dalam menginternalisasi nilai-nilai ke dalam individu-individu peneliti menggunakan teori sosialisasi dari G. Herbert Mead dan teori ekstrenalisasi, objektifikasi dan internalisasi dari Peter L. Berger dan Luckman.
Menurut penulis teori-teori tersebut dapat digunakan untuk membongkar motif-motif individu dalam mengambil keputusan, dalam hal ini motif-motif individu dalam melakukan upaya bunuh diri. Sungguh sangat penting untuk menemukan teori yang mampu menjelaskan bagaimana fenomena-fenomena tersebut terjadi. Dengan teori fenomenologi ini akan diungkap bagaimana kehidupan dan karakter itu terbentuk.
Selanjutnya dengan teori sosialisasi akan diketahui bagaimana proses pembentukan nilai-nilai dalam masyarakat. Khususnya proses sosialisasi nilai-nilai dari pranata-pranata yang ada dalam masyarakat. Sehingga diketahui penyebab terjadinya disfungsi dalam masyarakat. Dalam hal ini bunuh diri dianggap sebagai disfungsi atau penyimpangan.
7. Hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri
Bunuh diri merupakan keputusan seseorang untuk menghabisi nyawanya atau mengakhiri hidupnya, dengan suatu alasan yang biasanya seringkali tidak terungkap. Fenomena bunuh diri tampaknya semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Ada anak SD yang bunuh diri hanya gara-gara seragam pramukanya masih basah dan ada juga karena orang tuanya tidak membayarkan uang untuk rekreasi. Seorang anak TK yang menghabisi nyawanya karena habis dimarahi orang tuanya, atau seorang siswi yang karena malu diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur, nekat mengakhiri hidupnya.
Belum lagi ada begitu banyak orang yang karena kesulitan ekonomi, diceraikan pasangan, mengambil suatu keputusan yang fatal, dengan mengakhiri hidupnya. Diantara semua tragedi tersebut, salah satu peristiwa yang cukup menggemparkan baru-baru ini adalah adanya tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang ibu, namun kepergiannya ke alam baka “turut mengajak serta” keempat anaknya yang masih belia dengan cara meracuni mereka.
Ada lagi seorang ibu yang nekat membunuh anaknya yang masih bayi lalu menceburkannya ke dalam sumur, setelah itu dia menggorok lehernya sendiri dengan maksud agar bisa ikut mati. Belum lagi akhir-akhir ini, banyak yang melakukan upaya bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari atas gedung bertingkat. Mall menjadi tempat favorit yang dipilih oleh para pelaku bunuh diri tersebut.
Di Kediri Jawa Timur, pada akhir tahun 2007, warga dikejutkan oleh meninggalnya seorang pensiunan guru agama. Dia ditemukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah. Setelah diteliti penyebab dia nekat melakukan bunuh diri, ternyata karena putus asa tidak terpilih sebagai Kepala Desa dalam Pilkades di desanya.
Seorang calon bupati di sebuah daerah di Jawa Timur, berperilaku aneh setelah dia tidak terpilih oleh rakyat sebagai seorang bupati. Dia berulangkali melakukan upaya bunuh diri dengan berbagai macam cara, mulai dari menyilet urat nadinya, menceburkan diri ke sungai, sampai dengan cara menggantung diri. Keputusan untuk bunuh diri dia lakukan karena merasa telah menghabiskan cukup banyak biaya untuk mencalonkan diri sebagai calon bupati, dan juga dia menyisakan banyak hutang. Namun ternyata dia tidak terpilih sebagai bupati.
Salah satu hal yang menarik dari kasus-kasus bunuh diri adalah, mengapa mereka nekat mengambil “keputusan kekal” terhadap “masalah yang sementara” (a permanent solution to a temporary problem)?
Berdasarkan beberapa kasus-kasus bunuh diri yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, dapat disimpulkan beberapa penyebab atau motif-motif seseorang melakukan upaya bunuh diri. Untuk lebih memudahkan dalam menganalisa, maka penulis membedakan penyebab bunuh diri pada anak sampai dengan remaja, dengan penyebab bunuh diri pada orang dewasa sampai dengan orang tua. Walaupun pada dasarnya sebenarnya hampir sama namun, ada tataran yang lebih luas dan kompleks yang terjadi pada orang dewasa.
Upaya bunuh diri yang dilakukan oleh orang dewasa biasanya permasalahannya lebih kompleks. Hal itu dikarenakan oleh interaksi yang dilakukan oleh orang dewasa jauh lebih luas, dan lebih banyak kepentingan-kepentingan yang ikut serta didalamnya. Berikut beberapa penyebab bunuh diri pada orang dewasa sampai dengan orang tua:
1) Traumatis-individu.
2) Gangguan suasana hati atau mood disorders dengan berbagai variasinya.
3) Gangguan-gangguan mental
4) Kurangnya dukungan sosial
5) Kehilangan pekerjaan,
6) Pengusuran
7) Perceraian
8) Penyakit yang tak kunjung sembuh
9) Masalah pergaulan
10) Kemiskinan
11) Huru-hara
12) Konflik berat pengungsi
13) Kondisi ekonomi yang tidak menentu
14) Kondisi politik yang tidak menentu
15) Bencana alam
16) Pengangguran
17) Mahalnya biaya hi¬dup,
18) Lingkungan psi¬ko¬so¬sial yang parah,
19) Pengaruh tayangan televisi,
20) Kesenjangan yang begitu be¬sar,
21) Pekerja migran
22) Ketidakmampuan mengelola emosi, gampang putus asa dan tidak berlapang dada dalam menerima sebuah masalah.
23) dan pasien gang¬guan mental tidak tertangani secara op¬ti¬mal mudah memicu gangguan jiwa.
Berbagai macam penyebab tersebut di atas dapat menyebabkan tekanan psikis, yang menimbulkan trauma, rasa tak berdaya, rasa marah, putus asa atas berbagai macam hal yang dihadapi. Seorang yang sudah tua dan sakit-sakitan, sedangkan disatu sisi dia tidak mampu bekerja lagi atau tidak mempunyai penghasilan, akan mengalami beban mental. Karena dia merasa menjadi beban bagi keluarga. Hal itu sering ditemui di daerah Gunung Kidul Jogjakarta, banyak laki-laki yang sudah tidak mampu bekerja lagi dan juga sering sakit-sakitan melakukan bunuh diri. Beratnya beban hidup, medan yang mereka hadapi semakin menambah beban mereka.
Disebutkan pula bahwa bunuh diri sebagian besar dilakukan oleh laki-laki dengan alasan utama kesulitan ekonomi. Seperti yang terjadi di AS dan Eropa ketika dilanda The Great Depression tahu 1930-an. Ketika itu banyak terjadi kasus bunuh diri dikalangan para suami karena mereka merasa tidak mampu lagi mencarikan nafkah bagi keluarga. Pada waktu itu harga-harga barang turun drastis tetapi sebagian besar rakyat takmampu membeli karena tidak punya penghasilan akibat tidak punya pekerjaan.
Sedangkan penyebab bunuh diri pada anak-anak sampai dengan remaja lebih banyak disebabkan oleh:
a) Traumatis-individu.
b) Gangguan suasana hati atau mood disorders dengan berbagai variasinya.
c) Gangguan-gangguan mental
d) Kurangnya dukungan sosial
e) Penyakit yang tak kunjung sembuh
f) Masalah pergaulan
g) Biaya sekolah
h) Masalah orangtua (broken home)
i) Kekerasan dalam keluarga
j) Dipermalukan teman di sekolah dan tempat bermain (bullying, pelecehan)
k) Masalah ekonomi keluarga
l) Diabaikan oleh keluarga dan teman
m) Putus hubungan dengan kekasih
n) Depresi
o) Pengaruh tayangan media massa
Kasus-kasus bunuh diri pada anak-anak lebih banyak diakibatkan oleh ketidakpuasan mereka terhadap kondisi di sekitarnya. Sesuai dengan jiwa perkembangannya, anak memiliki keinginan besar untuk diakui keberadaannya, mendapat kesempatan bermain, dan kebebasan. Apabila hal itu direnggut dari kehidupan mereka, tidak mustahil dia akan merasa tertekan dan mengambil jalan pintas. Anak-anak mengambil jalan pintas bunuh diri, karena cara itu mudah, cepat, dan dianggap mengurangi beban.
Sejumlah peristiwa bunuh diri anak-anak dilansir di media massa. Kasus terakhir menimpa seorang anak di Pemalang. Si anak bunuh diri karena merasa tidak puas terhadap orang tua yang melarang dia menyetel tape recorder keras-keras.
Kendati mereka bunuh diri secara sadar, anak-anak usia 7-9 tahun pada umumnya belum mampu menginternalisasikan nilai-nilai moral. Anak-anak seusia mereka, lebih banyak dipengaruhi media massa dan lingkungan sekitar yang menyuguhkan bentuk kriminalitas secara vulgar.
Ungkapan kasih sayang orang tua juga acap diterjemahkan berbeda oleh anak-anak. Pola komunikasi yang kurang baik antara orang tua dengan anak juga dapat menjadi penyebab dari depresi mental pada anak. Hal itu dikarenakan komunikasi yang diciptakan orang tua sering tidak menghargai nilai-nilai anak. Orang tua sering mengatakan sayang kepada anak, tetapi sering cara berkomunikasinya keliru.
Teguran bernada tinggi atau kemarahan membuat anak merasa tidak dihargai. Pada satu titik tertentu, perasaan itu akan menumpuk dan meledak menjadi tindakan seperti bunuh diri. Akumulasi kekecewaan terhadap kondisi sosial, ekonomi, tekanan psikis, dan fisik dapat mendorong anak nekat melakukan upaya bunuh diri.
Pendidikan keluarga meski tidak terhubung secara langsung dengan maraknya berbagai macam kasus-kasus bunuh diri ataupun masalah-masalah sosial lainnya, akan tetapi tidak dapat dipungkiri nilai-nilai dalam keluarga membentuk dan menstimulisasi karakter anak. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh penick and Jepsen,1992: “Pendidikan keluarga meski tidak terhubung secara langsung dengan pembangunan sistem pendidikan akan tetapi membentuk dan menstimulisasi karakter anak didik dikaitkan dengan status sosial ekonomi, fisik, gender, kemampuan, dan temperamen dikaitkan dengan status sosial ekonomi, fisik, gender, kemampuan, dan temperamen” . Bahkan, Mortimer pada tahun 1992 menyatakan variabel yang paling berpengaruh dalam rencana pendidikan dan pembentukan karakter adalah pendidikan dalam keluarga.
Tidak bisa dipungkiri lagi sosialisasi nilai-nilai dalam keluarga dilatarbelakangi dari pengaruh pengetahuan dan kemauan orang tua dalam mengarahkan dan memberikan pilihan-pilihan karakter pengembangan seorang anak. Kemampuan mendidik dan memberikan perlindungan yang memadai terhadap anak akan tergambarkan dari kemampuan anak dalam beradaptasi dengan lingkungannya.
Dalam keluarga juga anak mempelajari norma-norma, nilai-nilai, sikap-sikap, perilaku, cara berpikir, pola komunikasi, persepsi, aspirasi, dan bahkan cara menyikapi rasa sakit ketika dia terluka, ketika dia kecewa dan bagaimana dia harus menghadapinya. Keluarga akan membentuknya menjadi orang yang optimis atau pesimis, keluarga yang menkondisikannya menjadi anak yang mandiri atau tergantung, menjadi anak yang peduli atau acuh tak acuh, menjadi anak yang religius atau sekuler, anak yang demokratis atau otoriter, dan sebagainya.
Internalisasi nilai akan berlangsung lama dan akan berpengaruh terhadap kualitas anak. Baik dalam menerima perilaku sehari-hari, ataupun dalam interaksi yang lebih kompleks.
Model keluarga sehari-hari yang memfungsikan standard kearifan budaya, budi pekerti, kejujuran dan harapan, bisa tergambar dalam banyak cara. Hal tersebut akan mewadahi kepercayaan diri dan kemampuan beradaptasi anak terhadap lingkungannya dan mewarnai filosofi hidup di masa yang akan datang. Demikian pula kesulitan anak dalam beradaptasi dan bergaul, dapat menyebabkan depresi, sehingga anak yang mudah putus asa akan cenderung dengan lebih mudah melakukan upaya bunuh diri.
Keluarga sangat berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai agama yang menjadi dogma dalam kehidupan. Seorang anak yang memahami dengan baik nilai-nilai yang diinternalisasikan, maka akan melakukan objektifikasi dengan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai pedoman dalam hidupnya, dan tereksternalisasi dalam pola perilaku sehari-hari dalam interaksi dengan lingkungan dan masyarakat.
Nilai agama biasanya menjadi suatu nilai yang baku yang cenderung bersifat represif terhadap individu. Nilai-nilai agama biasanya mengajarkan tentang moralitas, yaitu nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, apa yang boleh dan tidak, yang halal dan yang haram, yang menimbulkan dosa atau pahala, dan yang mengatur tata cara dalam berperilaku, serta cara bersikap dan bertindak.
Berdasarkan hasil penelitian Durkheim, terdapat bermacam-macam bentuk dari perilaku bunuh diri yaitu egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide. Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
Di sinilah, begitu Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur esensial dari agama itu mencakup berbagai mitos, dogma, dan ritual, yang kesemuanya merupakan fenomena religius yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya ’suci’ (sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang pemisahan antara keduanya menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius yang dilakukan manusia. Harus diperhatikan bahwa di dalam agama, khususnya yang menyangkut ritual keagamaan, ada yang dinamakan ritual negatif dan juga ritual positif. Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi.
8. Peran dan fungsi pranata sosial dalam menginternalisasi nilai-nilai ke dalam individu-individu
Melihat dari beberapa faktor penyebab diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia dibentuk. Bagaimana lingkungan itu membentuk, nilai-nilai yang diinternalisasikannya, dan yang diharapkan. Selanjutnya dari proses pembentukan tersebut akan menghasilkan suatu output yang siap dilepas untuk berinteraksi dalam dunia sosial.
Perilaku bunuh diri banyak disebabkan oleh kepribadian yang belum matang atau yang rentan terhadap goncangan-goncangan. Seberat apapun masalah yang dihadapi, apabila kepribadiannya kuat, maka kemungkinan untuk melakukan upaya bunuh diri rendah.
Beberapa pranata dalam masyarakat, mempunyai peran-peran tersendiri dalam membentuk individu. Pranata agama misalnya, mempunyai peran dalam menjadikan manusia yang penuh dengan nilai-nilai idealis. Dimana setiap ajaran agama selalu mengkonstruksi individu menjadi manusia yang lebih jujur, peduli, taat, sayang terhadap sesama dan sebagainya. Kegagalan fungsi dari pranata ini akan menyebabkan munculnya individu-individu yang atheis, apatis dan apriori.
Pranata pendidikan merupakan pranata yang memegang peranan sebagai pranata yang melanjutkan peran dari pranata yang lain, seperti pranata keluarga, pranata agama, budaya, politik, sosial, ekonomi maupun media massa. Pranata pendidikan lebih banyak bergerak dalam rangka pengembangan aspek kognitif individu, lembaga ini walaupun mempunyai nilai-nilai yang terstandarisasi, namun tidak dapat menggantikan peran-peran spesifik dari pranata yang lain.
Demikian juga dengan pranata keluarga, dimana peran dan fungsi dari pranata ini sangatlah besar. Individu lahir dan dibesarkan dalam keluarga. Keluarga Dalam proses pembelajaran anak tentang peranan hidup keluarga memberikan peranan, memberikan ketrampilan dan nilai yang tidak didapatkan di bangku sekolah (Grinstad dan Way,1993) sehingga kemandirian anak dan kecepatan adaptasi anak untuk mengakselerasi ilmu serta ketrampilan menjadi sangat berkembang.
Untuk mendukung kemampuan keluarga yang bisa menghasilkan kualitas sumber daya manusia unggulan hendaknya masyarakat menghidupkan kembali peranan pranata keluarga dengan nilai-nilai simbolik yang sangat sederhana. Namun, sarat makna. Interaksi peran antara ayah, ibu, dan anak menjadi variable yang sangat penting dalam proses penyadaran dan penanaman nilai nilai kebajikan.
Peran semacam ini terkadang tidak disadari dan terabaikan oleh keluarga. Posisi orang tua seakan hanya bertugas memberi layanan fisik. Tapi, sangat jarang berurusan dengan pendidikan agama, moral, dan etika sang anak. Jika orang tua tidak bisa memberikan perannya secara maksimal pada anak tentu sikap anak cenderung untuk melakukan pembenaran-pembenaran terhadap hal yang salah sekali pun. Sebab, kepada orang tualah anak melakukan identifikasi diri.
Proses menirukan nilai normatif orang tua dalam kehidupan kesehariannya menjadi sebuah kepastian sehingga tidak salah kalau ada idiom anak adalah cerminan orang tua. Kita tidak heran banyak siswa yang lulus memiliki nilai pendidikan formal dan keilmuan sangat tinggi. Tetapi, moral kepribadiannya masih layak dipertanyakan. Dengan kata lain pendidikan budi pekerti di sekolah hanya mampu melahirkan orang orang 'pragmatis' bukan kualitas 'intelektual' yang bermoral.
Perkembangan anak pada usia antara tiga-enam tahun adalah perkembangan sikap sosialnya.
Konsep perkembangan sosial mengacu pada perilaku anak dalam hubungannya dengan lingkungan sosial untuk mandiri dan dapat berinteraksi atau untuk menjadi manusia sosial. Interaksi adalah komunikasi dengan manusia lain, suatu hubungan yang menimbulkan perasaan sosial yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan hidup bermasyarakat seperti tolong menolong, saling memberi dan menerima, simpati dan empati, rasa setia kawan dan sebagainya.
Melalui proses interaksi sosial tersebutlah seorang anak akan memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan perilaku-perilaku penting yang diperlukan dalam partisipasinya di masyarakat kelak ( dikenal juga dengan sosialisasi ). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Zanden (1986) bahwa kita terlahir bukan sebagai manusia, dan baru akan menjadi manusia hanya jika melalui proses interaksi dengan orang lain.
Artinya, sosialisasi merupakan suatu cara untuk membuat seseorang menjadi manusia atau untuk menjadi mahluk sosial yang sesungguhnya.
Pengaruh paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya. Sedang kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak.
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan Rohner, dkk (1986) di Amerika menunjukkan bahwa seorang ibu yang memperlakukan anak dengan kasar, baik fisik maupun verbal akan menghasilkan pribadi anak yang cenderung kasar setelah dia dewasa kelak .
Sampai saat ini, keluarga masih tetap menerapkan bagian terpenting dari jaringan sosial anak sekaligus sebagai lingkungan pertama anak selama tahun-tahun formatif awal untuk memperoleh pengalaman sosial dini, yang berperan penting dalam menentukan hubungan sosial di masa depan dan juga perilakunya terhadap orang lain.
Melalui keluarga seorang anak mengenal nama-nama benda, nama-nama warna, anak-anak tahu mana yang baik dan yang buruk. Keberanian untuk berekspresi terbentuk melalui keluarga juga. Seorang anak bisa menjadi sangat takut dengan sesuatu hal atau binatang, dibentuk juga oleh keluarga. Bahkan seorang anak bisa menjadi anak yang sehat, yang kurus, yang gemuk sekalipun merupakan penkondisian dari dalam keluarga.
Ketika menghadapi suatu masalah, maka seorang anak akan melihat dan menirukan cara orang-orang disekelilingnya (anggota keluarga yang lain) dalam menghadapi masalah tersebut. Seorang anak bisa menjadi anak yang pemarah, pemaaf dan
9. Kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik di Indonesia (suatu upaya untuk menjawab alasan mengapa Indonesia termasuk negara yang menduduki peringkat yang tinggi dalam hal bunuh diri)
Kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang carut marut khususnya sejak reformasi tahun 1998, dan krisis ekonomi yang berkepanjangan beberapa tahun sebelumnya dan terus berlangsung sampai sekarang. Kondisi tersebut menyebabkan krisis dalam berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan juga krisis ideologi.
Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Sebagai akibatnya, petumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak krisis tahun 1997.


depresi yang cukup berat kepada masyarakat

REVIEW BUKU SENJATA ORANG-ORANG YANG KALAH (Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani) JAMES C. SCOTT

REVIEW BUKU SENJATA ORANG-ORANG YANG KALAH
(Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani)
JAMES C. SCOTT
Oleh: Baiq Lily Handayani

Buku weapons of the weak ini merupakan hasil penelitian James Scott pada tahun 1978-1980, di suatu daerah di Kedah Malaysia yang kemudian daerah itu dinamai Sedaka. Penelitian yang dilakukan oleh James Scott selama dua tahun tersebut, meneliti tentang kehidupan para petani padi yang berjumlah sebanyak 70 KK. Dia mengamati pola kehidupan para petani mulai dari bangun tidur hingga dia tidur lagi. Dia berbaur dengan masyarakat setempat dalam acara-acara keagamaan seperti acara kematian, sampai pada acara kelompok pemuda seperti sepak bola.
Penelitian James Scott ini tidak hanya memberikan kita pengetahuan tentang kondisi petani di Sedaka dan juga mekanisme perlawanannya, namun juga tentang metode penelitian yang dapat kita gali dari metodenya mencari data. Metode fenomenologis diterapkannya dalam upaya menggali data-data tentang cara masyarakat mengungkapkan tentang dirinya sendiri. Namun, Scott juga menyadari bahwa pendekatan fenomenologis juga mempunyai bahaya, karena menurutnya hanya sedikit saja yang benar apabila orang berbicara tentang dirinya sendiri daripada jika perilaku itu sendiri yang berbicara mengenai dirinya.
Pola kehidupan masyarakat petani (desa) sebenarnya dihampir setiap daerah mempunyai pola yang sama. Seperti suka menggunjing, memfitnah dan memberi label atau citra yang buruk terhadap seseorang yang menurut mereka sebagai musuh bersama. Biasanya mereka tidak berani melakukan perlawanan secara langsung dan radikal, tetapi lebih bersifat perlawanan simbolik.
Scott memfokuskan perhatiannya pada pertarungan ideologi di kampung itu. Pertarungan antara kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Ia juga merupakan pertarungan mengenai pemaknaan simbol-simbol tentang bagaimana masa lampau dan masa sekarang dipahami dan diberi nama, pertarungan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dan menilai kesalahan-kesalahan, yang kesemuanya adalah upaya untuk memberi makna partisan kepada sejarah setempat. Detail-detail pertarungan ini melibatkan unsur fitnah, pergunjingan dan gossip yang bertujuan merusak nama baik orang lain, julukan-julukan kasar, gerakan tubuh atau sikap berdiam diri tetapi maksudnya merendahkan orang lain.
Sebuah pertarungan jangka panjang yang prosaik, antara petani dan pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan bunga dari mereka. Kebanyakan bentuk pertarungan ini hampir saja menimbulkan tantangan kolektif langsung. Senjata-senjata yang mereka miliki seperti, memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik orang, pembakaran, penyabotan dan sebagainya. Mereka hampir tidak membutuhkan koordinasi atas perencanaan, menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus diri sendiri, dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis secara langsung dengan kekuasaan. Menurut, Scott justeru cara-cara seperti itulah yang paling efektif dalam jangka panjang.
Teknik-teknik low profile dengan demikian sangatlah cocok untuk struktur sosial kelas petani –suatu kelas yang bertaburan di wilayah pedesaan, tanpa organisasi formal dan paling siap untuk melakukan kampanye defensif menghabiskan tenaga lawan dengan gaya gerilya. Tindakan perorangan berupa memperlambat pekerjaan dan mengelak, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan itu diperbanyak ribuan kali, pada akhirnya mungkin menjadikan kebijakan-kebijakan yang diimpi-impikan oleh calon atasan menjadi kacau balau. Mereka menjadikan diri batu karang dan dengan itu mereka menyatakan kehadiran politisnya. Dimana setiap saat kapal yang besar (orang yang berkuasa) bisa saja kandas karenanya.
Scott memulai bukunya dengan kisah tentang Razak dan Haji Broom, dimana kisah-kisah itu bukan hanya sekedar cerita hiburan masyarakat setempat saja, namun lebih dari itu kisah itu merupakan suatu dinamika perang simbol antara orang kaya dan miskin. Rasa permusuhan dalam perang kecil ini, dilakukan di atas arena yang selalu berubah di mana terdapat banyak orang netral yang melihat dari pinggiran saja. Berita-berita perang hampir seluruhnya terdiri dari kata-kata saja, gerak tipu dan kontra gerak tipu, ancaman, satu dua pertarungan kecil dan terutama sekali propaganda.
Cerita-cerita yang beredar tentang Razak dan Haji Broom dapat dipahami sebagai propaganda, yang melambangkan dan memuat keseluruhan argumentasi mengenai apa yang terjadi di kampung itu. Hanya dengan menyebut nama Razak oleh orang kampung yang kaya raya, timbullah suatu visi tentang orang miskin yang mengambil apa saja dan tidak jujur, yang melanggar ukuran yang diterima tentang perilaku yang sopan di kampung itu. Dalam pandangan mereka, Razak adalah model negatif ke arah mana menujunya orang miskin pada umumnya.
Sebaliknya, dengan hanya menyebut Haji Broom saja, langsung timbul suatu visi tentang orang kaya yang sangat rakus, yang juga telah melanggar ukuran-ukuran yang diterima tentang perilaku di desa itu itu. Dalam pandangan mereka, Haji Broom adalah model negatif yang merupakan representasi orang-orang kaya pada umumnya. Bahkan masyarakat desa itu mempunyai label-label atau istilah tersendiri untuk para petani kaya yang dianggap rakus itu. Haji Broom misalnya yang berarti haji sapu, yang berarti Haji yang suka menyapu bersih atau mengambil hak-hak milik orang miskin dengan jalan menjadi lintah darat. Kemarahan masyarakat setempat terhadap para Haji yang tidak mencerminkan status haji yang disandangnya, menguatkan mereka untuk menambahi label-label yang buruk di belakang status Haji mereka, antara lain Haji Broom, Haji Sangkut , Haji Merduk , Haji Karut , Haji Kedekut, Haji Bakhil dan juga menambahi nama yang buruk di belakang nama petani kaya seperti Kadir Ceti. Semua nama-nama itu merupakan kritikan keras dari masyarakat terhadap para haji yang diharapkan seharusnya merupakan orang yang taat terhadap agama, karena salah satu tujuan utama dari ibadah haji adalah membersihkan diri dari dosa dan mempersiapkan diri untuk diadili Allah.
Sebagai ideologi, cerita-cerita itu melambangkan suatu kritik terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya dan juga suatu visi tentang segala sesuatu sebagaimana seharusnya. Cerita-cerita ini dapat dibaca sebagai sejenis teks sosial tentang soal kesusilaan. Karya ideologis untuk memperbaiki dan memperbaharui tatanan masyarakat adalah suatu pekerjaan yang tidak pernah berhenti. Tujuan yang terkandung dalam ideologi-ideologi yang saling bersaing ini bukanlah hanya untuk meyakinkan, tetapi juga untuk menguasai dan mengontrol.
Seandainya kelas kaya dapat diperbaiki dengan cerita-cerita tentang Haji Broom, maka tentu harapan masyarakat agar mereka tidak meminjamkan uang dengan bunga tinggi, mereka tidak akan berniat lagi untuk menguasai tanah dan sawah orang lain, mereka akan menjadi dermawan dengan sedekah dan kenduri keagamaan, dan mereka akan memperkerjakan lebih banyak penyewa tanah dan pekerja. Sebaliknya orang miskin dengan sindiran seperti “Razak”, membuat mereka merenungkan sifat-sifat Razak yang dianggap tidak senonoh itu, maka tentu orang-orang miskin itu tidak akan meminta-minta sedekah dari orang kaya, mereka tidak akan hadir di kenduri di mana mereka tidak diundang, dan mereka akan menjadi pekerja yang setia dan tekun. Namun, sayang sekali perimbangan itu hanyalah simbolis. Bagaimanapun juga cerita-cerita yang memberi peringatan itu memohon kepada si kaya dan si miskin untuk meninggalkan kepentingan materi yang langsung demi menjaga nama baik mereka. Namun, apakah nama baik itu penting bagi mereka?.
Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para petani pada masa itu lebih banyak dilakukan dengan cara-cara simbolis. Tampaknya mereka menyadari bahwa perlawanan mereka akan berhasil bila dapat disembunyikan di belakang topeng kepatuhan umum. Seperti yang dilakukan oleh para petani Jawa yang member nasihat pada anak-anaknya “…ingatlah kamu menjual tenaga kamu dan orang yang membelinya ingin melihat bahwa ia memperoleh sesuatu darimu, jadi bekerjalah apabila ia ada di sekitar tempat itu, lalu kamu dapat bersantai apabila ia telah pergi, akan tetapi yakinkan bahwa kamu harus selalu tampak seolah-olah sedang bekerja ketika para pengawas itu ada di sana”.
Sifat gerakan yang seringkali tidak diumumkan dan tidak bernama seperti itu, menjadikannya sangat sukar bagi pihak lawan untuk memberi peringatan atau menjatuhkan hukuman. Jarang sekali orang yang melakukan tindakan-tindakan kecil itu berusaha menarik perhatian orang kepada dirinya. Sebab keamanan mereka justeru terletak pada anonimitas.
Sifat gerakan kaum tani, telah banyak yang mengalami perubahan khususnya dalam mekanisme perlawanan. Akan tetapi, perlawanan yang khas seperti itu pun masih bisa kita temui, seperti yang terjadi pada kasus petani tetelan di sekitaran Taman Nasional Meru Betiri Kabupaten Jember, mereka sebenarnya menolak untuk menanam tanaman pokok seperti petai, kedawung, trembesi, pakem, kemiri dan sebagainya. Namun, mereka tidak benar-benar berani menolak secara terang-terangan, karena mereka mengetahui hak mereka terhadap tanah Taman Nasional hanyalah hak pakai saja. Apabila mereka menanami tanah tersebut dengan tanaman pokok maka ketika tanaman pokok tersebut telah tumbuh tinggi dan berdaun rimbun maka tanaman mereka seperti jagung, padi gogo dan kacang tanah tidak bisa tumbuh dengan baik karena tidak mendapat cahaya. Dalam prakteknya mereka tetap menanam tanaman pokok tersebut namun tidak pernah disiram, dan agak dicabut agar akarnya tercerabut sehingga walaupun masih terlihat tertanam sebenarnya tanaman itu akan segera mati.
Berdasarkan hasil penelitian dari Budiraharjo (2008), tentang gerakan politik identitas petani tebu dalam asosisasi petani tebu rakyat (APTR) PT. Perkebunan Nusantara XI. Menurut Budiraharjo, petani berusaha menegaskan identitasnya sebagai salah satu stakeholders yang memegang peranan penting di tengah-tengah industry gula. Mereka membangun lokasi perjuangan dan komunitas perlawanan serta ruang politik, dimana mereka mewacanakan isu-isu perjuangan dan stategi untuk mencapai ideal yang dicita-citakan. Mereka berperan sebagai pressure group, yang melakukan strategi konstruksi makna, proses pembentukan identitas kolektif, pembentukan pusat kultur dan gerakan dan pembentukan wacana publik.
Strategi-strategi gerakan kaum tani, memang telah mengalami banyak perubahan. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan lebih terorganisir dan lebih berani menunjukkan identitas kolektif mereka. Tidak seperti hasil penelitian James Scott, dimana para petani cenderung melakukan perlawanan yang tidak menarik perhatian orang dan bersembunyi di balik anonimitas mereka. Bentuk khas perlawanan mereka lebih bersifat diam-diam dan kontra perampasan. Sebaliknya, dalam perkembangan selanjutnya petani lebih berani menunjukkan sikap mereka, bahkan berani membakar tebu mereka sendiri walaupun itu juga beresiko.
Masyarakat juga semakin rasional dalam melakukan tindakan mereka, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hari Yuswadi (1999), tentang komersialisasi tanaman jeruk sebagai bentuk baru dari resistensi masyarakat petani terhadap kebijakan pembangunan pertanian.
Bentuk-bentuk perlawanan kaum tani di Sedaka ini, lebih sebagai sekumpulan tindakan atau perilaku individual . Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus, adalah suatu isu yang kompleks. Hal yang ingin ditegaskan oleh Scott adalah bahwa, pertama, baik intensi maupun aksi bukanlah penggerak yang tidak digerakkan. Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar kembali, untuk mempengaruhi kesadaran, dan dari sinilah timbul intensi dan aksi berikutnya. Jadi aksi perlawanan dan pemikiran tentang perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk yang seluruhnya sama dengan dunia materi sebagaimana perilaku. Adalah mungkin dan biasa bagi pelaku manusia untuk membayangkan suatu garis aksi, yang pada suatu saat, tidak praktis dan tidak mungkin.
“Akan tetapi sepanjang saya berusaha untuk memahami perlawanan “binatang yang dapat berpikir” dan berjiwa sosial yang namanya petani itu, saya tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka –yaitu makna yang diberikan kepada tindak tanduk mereka. Symbol, norma dan bentuk-bentuk ideologis yang mereka ciptakan merupakan latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari perilaku mereka. Betapapun parsial dan tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-aksi mereka”. (Scott, 2000:51-52)
Ibarat panggung, para petani mempunyai panggung depan dan belakang. Mereka dapat berpura-pura sangat baik sekali kepada para petani kaya ketika di hadapannya. Sebaliknya di belakang layar mereka akan menjadi sangat berbeda, bahkan memfitnah, menjelek-jelekkan, merusak nama baik, tidak mau mengerjakan pekerjaan dengan baik, mengulur-mengulur waktu, dan sebagainya.
Model-model bentuk perlawanan sehari-hari dari kaum petani kecil inilah yang menjadikan kaum miskin dan aksi-aksi konfliktual mereka menjadi perhatian ilmu sosial dan menandai kehadiran mereka menjadi perhatian ilmu sosial dan menandai kehadiran mereka sebagai sebuah fakta sejarah. Ada tiga konsekuensi umum dari perlawanan petani di Sedaka ini. Yang pertama, perilaku perlawanan ini memberikan rasa kaya di kalangan petani kecil. Yang kedua, perilaku perlawanan tersebut turut mengikis prinsip-prinsip normatif yang mendukung struktur dominasi. Dan yang ketiga, bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari dari para petani menjadi dasar bagi ekspresi aksi politik terbuka dari pihak mereka.
Pertarungan Simbolis, Mekanisme Kontrol Sosial dan Perjuangan Keadilan Sebagai Tanggung Jawab Sosial
Upaya kaum miskin secara simbolis meruntuhkan status yang diklaim oleh orang kaya, dengan julukan-julukan (label negatif) dengan gunjingan yang merusak (lebih dikenal sebagai “ejekan”), dengan mengecam keserakahan dan kekikiran mereka merupakan suatu upaya yang bisa dilakukan oleh kaum tani miskin. Mereka melakukan perjuangan dengan mekanisme perlawanan sehari-hari, yang lebih terlihat sebagai guyonan, ejekan atau sindiran, yang bahkan mungkin tak pernah sampai ke telinga orang kaya. Namun, tetap di pahami bersama oleh mereka sebagai peringatan bagi yang lain agar tidak bersikap demikian, jadi ini lebih sebagai mekanisme kontrol sosial.
Hal yang menarik dari kehidupan petani di Sedaka ini adalah tidak pernah terjadi konfrontasi terbuka, bahkan upaya-upaya pemboikotan penanaman padi dilakukan dengan sangat hati-hati, mereka melakukkannya dengan cara anonym. Menyampaikan pesannya lewat orang lain, akan ketidakpuasan hati mereka dan mengancam jika suatu saat mesin pemanen rusak, maka jangan harap dapat mengandalkan buruh-buruh lama untuk membantunya mngatasi kesulitan. Para penanam padi itu tetap menjaga pilihan mereka. Mereka menghindari untuk secara terus menerus menolak menanam padi, karena itu akan memancing konflik terbuka.
Sekalipun tidak terlihat terorganisir secara terbuka, namun Scott menemukan unionisme buruh walaupun tanpa serikat buruh. Upaya-upaya perlawanan sehari-sehari yang mereka lakukan bahkan secara rutin, walaupun lebih terlihat sebagai sikap individual akan tetapi ada kesatuan tindakan diantara para petani itu. Karena jika seandainya ada diantara petani miskin itu yang memecah barisan, maka dia harus siap dengan sanksi-sanksi yang ditimpakan oleh tetangganya.
“Berbagai bentuk perlawanan kelas miskin yang saya selidiki punya tanda-tanda yang berbeda-beda. Apakah ia berupa perlawanan terhadap mesin pemanen, negosisasi upah, upaya untuk menghindari persaingan yang menghancurkan di kalangan orang miskin sendiri ataupun pembunuhan hewan ternak, taiadanya secara realtif konfrontasi terbuka antar kelas, sangat mencolok. Kalau perlawanan dilakukan secara kolektif, inipun dilakukan secara sangat hati-hati, kalau dilakukan oleh perorangan atau serangan kelompok kolektif atas hak milik, dilakukannya secara anonym dan biasanya di malam hari”. (Scott, 2000:360-361).
Apabila melihat dari ideologi gerakan, maka upaya-upaya perlawanan yang dilakukan lebih sebagai upaya perjuangan kelas, khususnya mengenai “isu materi”. Memang jika benar-benar dikatakan sebagai sebuah gerakan sosial, ia tidak cukup ciri untuk itu, seperti upaya kolektif yang bersifat terstruktur dan terorganisir, mempunyai visi dan gerakan yang jelas, ada upaya memobilisasi sumber daya, meruapakan aksi massa yang spontan sampai pada pembentukan gerakan sosial dan publik.
Sementara pertarungan di Sedaka, lebih terlihat sebagai mekanisme kontrol sosial, pola resistensi dan perjuangan keadilan sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Jika menggunakan asumsi teoritis dari Rajendra Singh, pertarungan simbolis di sedaka ini lebih merupakan bentuk dari gerakan sosial lama.

REVIEW BUKU GERAKAN SOSIAL BARU RAJENDRA SINGH.

REVIEW BUKU GERAKAN SOSIAL BARU RAJENDRA SINGH. 2010. YOGYAKARTA:RESIST BOOK
Oleh: Baiq Lily Handayani
Buku ini membahas tentang gerakan-gerakan sosial, konflik-konflik sosial dan tindakan-tindakan kolektif. Dalam buku ini topik-topik tersebut berusaha di telaah secara kritis, dalam konteks masyarakat dan ilmu sosiologi. Singh, tidak terlalu suka mengkaji masyarakat dengan menggunakan sudut pandang teori struktural fungsional, namun lebih menganut paradigma konflik. Dalam buku ini, gerakan-gerakan sosial tidak ditampilkan sebagai wujud dari gangguan, kerusuhan, kekacauan dan upaya meruntuhkan tatanan masyarakat yang telah mapan. Jadi, masyarakat tidak dipandang sebagai sebuah tempat berlangsungnya rutinitas kehidupan sehari-hari yang aman dan stabil. Buku ini, mengambil setting tempat di India, dengan segala kompleksitas masyarakatnya.
Menurut Singh, masyarakat India terjebak dalam kontradiksi ganda, modernitasnya berjalan begitu terlambat dan keberhasilan pembangunannya berlangsung lamban. Di sisi yang lain, melompat tanpa melewati modern, dan menjadi ciri awal dari masa post modernitas. Perjuangan kontemporer pada masa postmodernitas tidak lagi terarah kepada usaha mencapai capaian material seperti kepemilikan tanah/porsi dalam produk-produk industri, namun kepada usaha mendefinisikan kembali norma-norma dan nilai-nilai, kepada penguasaan barang kultural dan simbol-simbol kolektif, kepada hak-hak pemilik dan keadilan sosial dan kepada sebuah pertarungan untuk mengejar ruang publik untuk bertindak dan untuk diakui sebagai subjek pelaku tindakan tersebut.
Revolusi di wilayah teknologi informasi dan komunikasi bukan hanya menawarkan pengetahuan mengenai moralitas dan etika universal serta pengetahuan sekuler mengenai alam, manusia dan dunia kepada kaum kaya dan miskin di India, namun pada level kelompok juga membawa sebentuk orientasi kebudayaan yang bercorak sangat lokal dimana artikulasinya seringkali bersifat oposisional satu sama lain. Ekspresi-ekspresi tindakan kolektif yang membela komunitas, paham subnasionalisme, pencarian akar budaya dan identitas-identitas kedaerahan, tuntutan-tuntutan feminis dan penggunaan seni-seni perlawanan.
Pada level individual, orientasi postmodernis tercermin dalam tuntutan akan kebebasan pribadi, otonomi individu, dan kebebasan untuk memilih. Pada masa ini terjadi persaingan unik, antara universal, lokal dan individual.
Konsep masyarakat sebagai sebuah tubuh tunggal yang secara sosial tersatukan dalam satu keseluruhan yang tunggal di bawah payung pemersatu kebudayaan pan-india, berubah menjadi suatu konsep yang rapuh. Individu menjadi berwajah ganda, yang satu berwatak global dan yang lain berwatak sangat lokal. Konsep society yang klasik tergantikan oleh post society.
Singh, mengakui kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik struktural sosial yang ada di masyarakat merupakan kondisi-kondisi dasar yang menumbuhkan gerakan-gerakan sosial. Karena kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik struktural sosial merupakan sesuatu yang inheren dalam pembentukan suatu masyarakat dan organisasi sosial. Satu poin penting yang ingin ditekankan oleh Rajendra Singh adalah bahwa situasi-situasi ketimpangan dan dominasi sosial, jika dijalankan dan dipertahankan oleh institusi-institusi dan lembaga-lembaga sosial, pada gilirannya akan menghasilkan sebuah situasi balik dimana terjadi perlawanan, penolakan dan pemberontakan menentang sistem dominasi tersebut. (Rajendra Singh, 2010:19). Jika melihat dari pandangan-pandangan Rajendra Sigh ini, maka dia termasuk dalam penganut teori konflik. Yang menekankan bahwa dalam masyarakat selalu terjadi kontradiksi-kontradiksi atau pertentangan antar bagian-bagiannya.
Menurutnya gerakan-gerakan sosial adalah ekspresi usaha-usaha kolektif masyarakat untuk menuntut kesetaraan dan keadilan sosial, dan mencerminkan perjuangan masyarakat untuk membela identitas dan warisan kultural mereka. Aksi-aksi kolektif merupakan kenyataan yang esensial dan terus ada dalam masyarakat. Bagi Singh, gerakan sosial dan aksi-aksi sosial telah ada sejak masyarakat itu terbentuk.
Sebelum membahas mengenai gerakan sosial secara lebih mendalam Rajendra Singh, memulainya dengan menjelaskan tentang aksi kolektif yang bersifat konflik. Aksi kolektif revolusi bersifat non-institusional yang dalam tingkatan tertentu memiliki struktur dan organisasi. Studi aksi kolektif dalam hal ini difokuskan pada konflik yang mengarah pada aksi-aksi kolektif konfliktual dalam sebuah masyarakat yang struktur sosial dicirikan oleh hirarkhi, ketimpangan sosial dan ketidakadilan sosial yang tajam. Kajian ini tidak memasukkan konflik-konflik individual, yang terpencar-pencar, insidental, tak tersruktur, tak terorganisir seperti kasta, kelas, komunitas, kelompok gender dan Negara.
Singh, membedakan aksi kolektif menjadi 5 macam:
1. Riot (kerusuhan). Riot didefinisikan sebagai pecahnya kekacauan massa yang singkat namun sarat kekerasan. Kerusuhan pecah secara tiba-tiba, membakar dan mengamuk terhadap kelompok sasaran dan kemudian mereda dalam waktu singkat setelah meninggalkan kematian dan kehancuran. Kerusuhan merupakan indeks dari ketidakpuasan umum yang terjadi di dalam masyarakat. Menurut Singh, kerusuhan dan pemberontakan bisa mengarah kepada gerakan sosial yang masa hidupnya lebih lama dan berskala luas.
2. Pemberontakan (revolt). Revolt merujuk pada aksi penentangan yang terorganisir atau aksi meruntuhkan secara terorganisir sistem otoritas yang ada. Pemberontakan merupakan kondisi penentu yang bersifat mendasar bagi konsep-konsep seperti penentangan dan revolusi.
3. Rebellion (penentangan). Rebellion merupakan bentuk pemberontakan yang sejati. Rebellion tidak menetang orang-orang melainkan otoritas yang didasarkan pada konstitusi dan hukum-hukum pemerintah, yang siapapun rezimnya, secara paksa digunakan untuk merusak dan membenarkan pelanggaran mereka terhadap masyarakat. Namun, karena bentuk-bentuk aksi kolektif penentangan itu menunjuk pada penolakan terhadap otoritas politik oleh suatu bagian masyarakat, maka jangkauan dan dampaknya relatif terbatas jika dibandingkan dengan revolusi.
4. Revolution (revolusi). Revolusi, merujuk pada pembaharuan tatanan ekonomi secara total, sosial, dan politik dengan menerapkan perubahan-perubahan fundamental dalam struktur masyarakat. Revolusi merujuk pada keikutsertaan semua lapisan masyarakaat di seluruh wilayah Negara untuk menggulingkan dan menggantikan tatanan politik yang ada dengan yang baru. Makna penting yang mendasar dari revolusi terletak bukan pada penggunaan cara-cara kekerasan untuk mengubah secara mendasar organisasi sosial, namun dalam kemampuannnya untuk berdampak terhadap terciptanya sebuah pergeseran besar-besaran dalam relasi antarkelas.
5. Sosial Movement (gerakan sosial). Gerakan sosial secara umum memobilisasi anggota-anggotanya (partisipan-partisipan) untuk berusaha menyuarakan keluhan atau mencapai tujuan jangka menengah dan jangka pendek tertentu. Gerakan sosial tidak selalu merupakan mobilisasi melawan Negara dan sistem pemerintahan, dan juga tidak selalu melibatkan perjuangan bersenjata dan penggunaan kekerasan. Menurut Singh, gerakan sosial bisa saja mengarah atau berubah menjadi revolusi. Ketika gerakan sosial telah menjadi revolusi, maka gerakan sosial tak lagi merupakan sebuah gerakan. Gerakan sosial itu akan menjadi bentuk aksi kolektif yang lain.
Kesamaan dari berbagai bentuk aksi kolektif ini adalah adanya penetangan terhadap otoritas. Menurutnya jika otoritas politik tidak lagi sanggup melindungi kehidupan dan hak asasi masyarakat, jika sistem itu menjadi tiran dan tak adil, maka rebellion dan revolt menjadi satu-satunya metode yang tersedia untuk memulihkan kembali dan melindungi masyarakat. Hal yang harus dipahami menurutnya adalah bahwa semua tipe gerakan sosial itu merupakan aksi-aksi kolektif, namun tidak semua bentuk-bentuk aksi kolektif itu merupakan gerakan sosial.
Rajendra Singh, tidak sependapat dengan Smelser yang menganggap bahwa gerakan kolektif merujuk kepada usaha-usaha kolektif untuk memodifikasi norma-norma dan nilai-nilai, yang seringkali (namun tidak selalu) berkembang dalam jangka waktu yang lama. Smelser memasukkan di dalamnya konsep-konsep revolusi. Rajendra Singh, mengatakan bahwa gerakan sosial bisa saja mengarah atau berubah menjadi revolusi. Ketika gerakan sosial berubah menjadi revolusi, maka gerakan sosial itu tidak lagi menjadi sebuah gerakan. Gerakan itu akan menjadi bentuk aksi kolektif yang lain. Menurutnya tidak ada jalur linier dari mobilisasi ke revolusi. Namun, Singh tidak menjelaskan, bentuk aksi kolektif seperti apa yang akan menjadi bentuk baru gerakan sosial setelah dia berubah menjadi revolusi. Tidak jelas juga, apakah bentuk-bentuk aksi-aksi kolektif yang disebutkan Singh seperti, crowd, riot, rebellion, revolt, revolusi dan gerakan sosial merupakan sebuah tahapan ataukah tidak. Atau hanya sekedar merupakan bentuk aksi-aksi kolektif berdasarkan cara yang digunakan, tujuan yang diharapkan, struktur bentuk atau juga mungkin sebuah tahapan yang lebih ekstrim dari aksi-aksi kolektif.
Menurut Singh, lahirnya postmodernitas menyimbolkan kritik terhadap modernitas, yang secara umum dianggap bertentangan dengan martabat manusia seperti kebebasan untuk memilih dan mengembangkan jalan kehidupan sosial dan kulturalnya sendiri. Modernitas dianggap menegasikan etos egalitarian dan humanis dari nilai-nilai dan kepekaan-kepekaan demokratis. Sedangkan postmodernisme memberikan pengakuan akan sama pentingnya berbagai bentuk kebudayaan dan peradaban, meski eksistensinya heterogen dan beragam bentuk. Postmodernisme menyangkal gagasan adanya kebudayaan yang superior dan inferior. Singh, menegaskan bahwa modernism telah menghasilkan sebuah kebudayaan dan menjadi medan munculnya tipe-tipe konflik dan gerakan sosial baru.
Dalam menganalisa secara lebih mendalam mengenai kondisi gerakan sosial di India, Rajendra Singh mengklasifikasikan tradisi teoretis dalam studi gerakan sosial dan tindakan kolektif.
a. Tradisi klasik. Tradisi klasik meliputi sebagian besar studi-studi dalam perilaku kolektif seperti crowd, riot dan rebel, utamanya oleh para psikolog-sosial barat dan para sejarawan dari sebelum tahun 1950-an. Singh, memfokuskan kajian mengenai tradisi klasik ini pada pengulangasan mengenai crowd. Akan tetapi Singh tidak secara jelas menerangkan mengenai jenis-jenis dari perilaku crowd. Berbeda dengan Light, Keller dan Calhoun yang bisa membedakan secara jelas mengenai tipologi perilaku kerumunan seperti kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan konvensional, kerumunan ekspresif dan kerumunan bertindak. Akan tetapi menurut Gustave Le Bon kerumunan hanya ampuh dalam melakukan penghancuran, memerintah secara biadab, dan tidak mampu mewujudkan peradaban yang ditandai oleh aturan mantap, disiplin, peralihan dari naluri ke rasio, pandangan ke masa depan dan kebudayaan bertingkat tinggi.
b. Tradisi neoklasik. Tradisi ini dihubungkan dengan tradisi utama dalam studi gerakan sosial lama. Kebanyakan tulisan dalam tradisi neo-klasik dipublikasikan setelah tahun 1950-an. Tradisi ini dibagi lagi ke dalam dua model gerakan sosial lama yaitu fungsionalis dan dialektika marxis.
c. Tradisi Gerakan Sosial Baru atau kontemporer. Menurut singh, gerakan sosial baru tidak melibatkan dirinya pada wacana ideologis yang meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas dan perjuangan kelas. Gerakan sosial baru ini lebih tertarik pada gagasan revolusi dan penggulingan sistem pemerintahan Negara secara revolusioner. Selain itu gagasan anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminism, environmentalism, regionalism dan etnisitas, kebebasan sipil, dan sebagainya. Tampilan GSB adalah plural.
Berikut ciri dari gerakan sosial baru:
1. Kebanyakan GSB menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya mengalami penciutan dan yang sosial dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kemampuan control Negara.
2. Secara radikal GSB mengubah paradigm Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah kelas dan konflik kelas.
3. Mengingat latar belakang kelas dan menentukan identitas actor ataupun penopang aksi kolektif, GSB pada umumnya mengabaikan model organisasi serikat buruh industry dan model politik kepartaian. Dalam hal ini tujuan GSB adalah untuk menata kembali relasi Negara, masyarakat dan perekonomian, dan untuk menciptakan ruang public yang di dalamnya wacana demokratis ikhwal otonomi dan kebebasan individual dan kolektivitas serta identitas dan orientasi mereka bisa didiskusikan dan diperiksa selalu.
4. Berbeda dengan gerakan klasik, struktur GSB didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi, dan oleh heterogenitas basis sosial mereka.
Analisis komparatif antara gerakan sosial lama dengan gerakan sosial baru.
a. Gerakan sosial lama. Dikonseptualisasi sebagai gerakan kelas, studi-studi mengenai petani, kelas buruh, dan bahkan gerakan suku, terutama dalam model Marxis diperlakukan sebagai gerakan-gerakan kelas yang ditentukan secara material.
b. Gerakan sosial baru. Paradigm ini secara umum bersifat non deterministik dan non teologis. Karena sifatnya yang demikian, GSB menyingkapkan kemajemukan dan keberagaman bentuk aksi kolektif manusia, seperti gerakan feminisme, ekologi, perdamaian, hak asasi manusia dan hak dari kolektivas yang terpinggirkan. Beberapa dari gerakan ini memiliki implikasi-implikasi globalnya dan berjalan lintas Negara (transnasional), lintas masyarakat, kultur dan bangsa. GSB lebih bersifat sosio kultural daripada sosio politis.
Karena bersifat non-kelas, secara umum non politik dan non-revolusioner, ekspresi-ekspresi GSB mengandung nada moral yang lekat. Sebenarnya apapun itu bentuk gerakan sosial semua bermula dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik dan juga ekologi masyarakat. Dalam masa revolusi teknologi informasi ini, sebenarnya semua hal terjadi baik itu gerakan sosial lama maupun baru, hanya saja masyarakat semakin pandai dalam mangartikulasikan keinginannya, pendapatnya dan juga protesnya.

Adanya kebebasan dalam mengekspresikan hak asasi, menjadikan masyarakat menjadi lebih terbuka menuntut sesuatu hal yang selama ini dianggap tidak terlalu penting dibanding pemenuhan kebutuhan pokok. Dahulu, kaum feminis hanya berani mengungkapkan aspirasinya lewat tulisan-tulisan, karena dunia masih dikuasai oleh konsep patriarkhi, sampai akhirnya isu-isu kesamaan hak dan kesetaraan gender digulirkan. Demikian juga dengan gelombang kaum waria yang juga meminta hak mereka di dalam masyarakat. Konflik-konflik antar agama dan antar kelas masih banyak terjadi, namun dalam perjalanannya seringkali diredusir menjadi perjuangan hak, perjuangan kolektivitas untuk memperoleh eksistensi.
Rajendra Singh, membedakan antara gerakan social lama (klasik) dan baru (kontemporer). Beberapa bentuk dari gerakan social lama adalah, (a) gerakan-gerakan petani dan perjuangan agraria, (b) post-history serta gerakan kaum tani serta studi-studi sub altern, (c) gerakan suku dan (d) gerakan buruh. Sedangkan GSB terbagi menjadi dua, yaitu gerakan inklusif, (a) gerakan ekologi, (b) gerakan perempuan, (c) gerakan Dalit dan (d) gerakan petani. Sementara yang termasuk gerakan ekslusif ialah (e) gerakan-gerakan subnasionalis dan otonomi kedaerahan.
Adanya transformasi dari bentuk, motivasi, sebab dan cara dari gerakan sosial tentunya memunculkan kemajemukan dalam gerakan sosial baru. David Aberle misalnya, secara lebih tegas membedakan gerakan sosial berdasarkan tipe gerakan sosial yang dikehendaki (perubahan perorangan dan perubahan sosial) dan besarnya perubahan yang diinginkan, membedakannya menjadi empat tipe. Yaitu; alterative movement, gerakan yang bertujuan untuk merubah perilaku perorangan (seperti kampanye bebas merokok). Redemptive movement, gerakan yang ingin mencapai perubahan keseluruhan dari perilaku perorangan (dalam bidang agama, anjuran untuk bertaubat). Reformative movement, gerakan yang hendak mengubah masyarakat namun dengan ruang lingkup yang akan diubahnya hanya segi-segi tertentu (gerakan kaum homoseks untuk memperoleh pengakuan terhadap gaya hidup mereka) dan transformative movement, gerakan untuk merubah masyarakat secara menyeluruh (gerakan untuk menciptakan masyarakat komunis).

footer Post 2