Heterogenitas kultural (culture dominan) berasumsi bahwa globalisasi kapitalisme konsumer akan mendorong hilangnya keragaman budaya. Intinya meningkatnya kesamaan budaya akan menghapuskan otonomi budaya akibat imprealisme kultural
Pesatnya perkembangan sistem kapitalisme di berbagai belahan dunia telah mengkonstruksi sebuah situasi dimana para pelaku usaha bisa dengan sangat bebas melakukan inovasi dan pengembangan terhadap usahanya. Beberapa perusahaan bahkan bisa berkembang hingga menjadi perusahaan yang sangat besar dan mampu menguasai pangsa pasar usaha mereka di negara tersebut. Ketika perusahaan-perusahaan tersebut semakin berkembang besar, dan atau muncul perusahaan kompetitor baru yang juga pesat perkembangannya, perusahaan tersebut akan “merasa” bahwa tempat mereka berusaha sudah menjadi terlalu “sempit” bagi perkembangan usaha. Mereka pun akan mencoba mencari pangsa pasar baru dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Jika dalam usaha ekspansi ini banyak pihak antarnegara yang dilibatkan sehingga menciptakan perdagangan antarnegara, maka terjadilah perdagangan global.
Pada pihak yang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak yang sangat signifikan terhadap cara hidup dan peradaban manusia. Banyak hal telah ditemukan dan banyak penemuan telah disempurnakan sebagai upaya untuk mempermudah kehidupan manusia. Kemajuan yang paling pesat dan paling terasa dampaknya adalah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan bidang ini telah membawa manusia pada sebuah era peradaban baru, dimana segala persoalan komunikasi dan sharing informasi telah menjadi hal yang tidak terlalu dirisaukan lagi karena adanya evolusi cara dalam berkomunikasi. Saat ini setiap orang di dunia dengan mudah berhubungan dengan orang lain walaupun jarak yang memisahkan mereka sangat jauh. Setiap orang di dunia juga bisa saling terhubung 24 jam dan bisa bertukar ribuan byte informasi dengan hanya memencet tombol-tombol ataupun berbicara melalui mokrofon. Sebuah informasi yang sama juga bisa diakses dan diketahui oleh jutaan manusia pada waktu bersamaan tanpa adanya kesulitan sehingga seakan-akan sudah tidak ada lagi sekat-sekat yang memisahkan manusia dengan manusia yang lain. Terjadilah globalisasi informasi.
Secara umum, globalisasi bukanlah sebuah ide yang buruk. Banyak kemudahan-kemudahan yang akan didapatkan oleh manusia melalui globalisasi, mulai dari kemudahan akses informasi dan komunikasi, layanan perbankan, akses hiburan, dan sebagainya. Selain itu, komunikasi dan persahabatan antarmanusia antarnegara akan semakin terbentuk dan bisa semakin memperkuat ikatan yang mengesampingkan perbedaan tersebut. Akan tetapi, globalisasi ternyata memiliki kecenderungan untuk menciptakan sebuah situasi dimana suatu budaya yang mengglobal akan mendominasi budaya lokal.
Globalisasi membuka kesempatan bagi penyeragaman (homogenisasi) budaya yang mengakibatkan produk budaya global mengalahkan produk budaya lokal. Globalisasi terjadi atas dukungan kemajuan teknologi. Teknologi sendiri dalam hal ini sebenarnya merupakan sebuah simbol modernitas. Sampai pada titik ini sebenarnya bisa dipahami mengapa banyak orang lebih suka menkonsumsi produk globalisasi daripada produk lokal. Sepertinya ada sebuah identitas yang coba diraih oleh para konsumen tersebut: jika ingin modern, maka gunakanlah produk-produk hasil dari modernitas. Di sisi lain, karena globalisasi juga menyebarkan trend-trend populer yang dianggap “gaul” atau kekinian, perkembangan budaya populer tampaknya juga mempengaruhi perilaku tersebut.
Jika kita melupakan adanya kecenderungan homogenisasi yang terjadi pada setiap proses globalisasi, maka bisa saja kita kehilangan apa yang kita miliki sebagai identitas budaya. Sekilas homogenisasi membuat setiap orang melupakan segala perbedaannya karena memang ketidakseragaman yang terjadi pada akhirnya melebur, sehingga menyebabkan seakan semuanya bersatu untuk menjadi satu indentitas. Namun, jika hal ini kita dukung sepenuhnya, maka kita akan benar-benar kehilangan identitas sejati kita.
Dalam konteks produk budaya, homogenisasi bisa berakibat akan terpinggirkannya atau hilangnya produk-produk budaya lokal karena dominasi dari produk budaya global. Semua pihak haruslah sadar akan sisi negatif dari homogenisasi budaya. Tanpa kesadaran ini, mustahil kita bisa mengatasi gempuran budaya global yang mengikis budaya lokal. Yang jadi permasalahan adalah ternyata masih banyak anggota masyarakat kita yang belum sadar, dan kebanyakan kalangan anak muda kita justru menjadi pendukung—secara langsung maupun tidak—produk-produk budaya global.
Namun, mengutip perkataan dari seorang ilmuan Prancis, Michel Wivieorka, pada sebuah acara Stadiun general di Gedung Kahuripan Kampus C Universitas Airlangga, bulan Maret tahun 2011: bahwa “McDonals ada dimana-mana di seluruh dunia, namun tidak semua orang makan McDonals”.
Adanya budaya baru dari barat tidak sepenuhnya akan menghilangkan budaya local. Sekali lagi mengutip ucapan Michel Wivieorka, bahwa ketika “globalisasi semakin memperdalam cengkeramannya, maka masyarakat berusaha melakukan apa yang dia sebut sebagai glokalisasi”. Demikian pula yang dikatakan oleh Huntington dalam bukunya Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia (2002: 12, 8-9): “sebagian masyarakat-masyarakat non barat, berusaha menandingi barat dan berjuang mengejar ketertinggalan mereka dari barat….Masyarakat-masyarakat non barat, terutama masyarakat Asia Timur, mengembangkan kekayaan ekonomi mereka serta menciptakan basis kekuatan militer dan politik. Seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan dan keyakinan diri, mereka semakin memantapkan nilai-nilai budaya mereka sendiri dan menolak segala “pemaksaan” yang dilakukan oleh barat terhadap mereka”.
Dalam bab III juga Huntington, mengatakan bahwa “ Lahirnya sebuah dunia yang didasarkan pada tatanan yang berlandaskan peradaban, masyarakat-masyarakat yang memiliki afinitas-afinitas cultural saling bekerja sama antar satu dengan yang lain, upaya untuk menggantikan peradaban suatu masyrakat dengan peradaban lain senantiasa tidak berhasil, dan masing-masing Negara saling bertumpu pada peradaban mereka sendiri”. (Huntington, 2002: 6)
Oleh karena itu, sekalipun ada upaya homogenisasi budaya, maka akan selalu ada upaya dari masyarakat “lain” sebagai tujuan dari upaya homogenisasi tersebut untuk melakukan upaya-upaya penolakan. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali Jinnah, Harry Lee dan Solomon Bandaranaike. Mereka melakukan “pribumisasi-diri” di tengah-tengah masyarakat mereka. Bahkan gerakan pribumisasi seolah-olah telah menjadi mode di seluruh dunia non barat. Dalam masyarakat Islam terkenadal dengan gerakan “Re-islamisasi”, di India terdapat kecenderungan melakukan penolakan terhadap bentuk-bentuk serta nilai-nilai barat dan telah terjadi “Hinduisasi” dalam kehidupan social politik. Di Asia timur, kalangan pemerintah menawarkan konfusianisme, para tokoh poltik dan kaum intelektual berbicara tentang “Asianisasi”.
Berbagai macam upaya penolakan yang dilakukan oleh masyarakat non-barat terhadap globalisasi, westernisasi maupun modernisasi telah mencapai bentuk yang sangat beragam. Westoksikasi atau penolakan masyarakat non-barat adalah sebuah deklarasi independensi cultural dari pengaruh barat, suatu pernyataan bahwa “kami akan menjadi modern, tetapi akami tidak akan seperti anda”.(Huntington, 2002:166)
Jadi, homogenisasi budaya atau imprealisme budaya bisa mempengaruhi masyarakat baik pada pola hidup, pola perilaku, cara makan, selera makan, cara berpakaian, dan bahkan pemikiran masyarakat, namun upaya-upaya “westoksikasi” akan terus selalu ada sehingga pluralism budaya tidak akan hilang begitu saja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar