TRANSFORMASI PERILAKU KEAGAMAAN
(ANALISIS TERHADAP UPAYA PURIFIKASI AQIDAH MELALUI
RUQYAH SYAR'IYAH PADA KOMUNITAS MUSLIM JEMBER)
A. PENDAHULUAN
Agama merupakan suatu fenomena yang bersifat universal, hampir semua individu, masyarakat dan juga negara mengenal agama. Setiap agama memiliki konsep, ritual dan juga makna tersendiri yang berbeda dengan agama lain. Walaupun dalam tataran konsep, ritual, dan makna berbeda, namun agama tetap menjadi sebuah nilai yang sangat penting dalam masyarakat.
Dalam setiap agama selalu ada sebuah objek yang diagungkan oleh penganutnya. Objek tersebut berada di luar diri manusia yang kemudian menjadi suatu hal yang diyakini di kalangan ummat agama tersebut. Demikian juga dengan agama islam, konsepsi Islam mengenai sesuatu yang berada di luar diri manusia dikenal dengan konsep ke “ghaib”an. Konsep tentang keghaiban diatur dalam prinsip aqidah Islamiah yang tercermin dalam rukun iman.
Dalam agama islam diatur, bahwa yang paling berhak disembah adalah Allah. Menyembah selainnya dikategorikan sebagai bentuk kesyirikan. Kesyirikan merupakan sikap menyekutukan Tuhan dengan selain-Nya. Sehingga sanksinya sangat jelas, bahkan dikatakan bahwa dosa yang tidak bisa diampuni adalah dosa syirik kecuali pelakunya bertaubat sebelum meninggal.
Ajaran agama Islam secara tegas melarang ummatnya untuk percaya dan meminta pertolongan kepada selain Tuhan, terlebih kepada dukun, peramal maupun paranormal. Karena memintai dan mempercayai dukun dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Perilaku syirik dalam agama Islam berkosekuensi terhadap pertaruhan aqidah keagamaan.
Namun, dalam kenyataannya masyarakat tidak pernah lepas dari pengaruh realitas sekelilingnya. Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat telah hidup dengan kepercayaan berdasarkan animisme dan dinamisme. Dimana benda-benda dan tumbuh-tumbuhan menjadi sesuatu hal yang sakral dan dihormati sebagai sebuah hal yang memiliki nilai supranatural.
Hasil penelitian Bustami Rahman di desa Lintang Kulon, Jawa Tengah mengemukakan bahwa masyarakat desa yang beragama Islam sangat terpengaruh dengan filsafat dan kepercayaan adat masyarakat lokal. Menurut hasil penelitian Bustami, terdapat tiga sub varian dalam masyarakat yakni:
1. Sub varian abangan. Sub varian ini menganut agama islam dan menggunakan falsafah hidup sangkan paraning dumadi.
2. Sub varian yang kedua yaitu masyarakat muslim yang masih menekankan pada system kepercayaan pada pemujaan roh-roh para leluhur.
3. Sub varian yang ketiga adalah mereka yang mensinkretisasi pemujaan roh para leluhur dengan syariat agama Islam.
Konsep tentang mitos, hantu, kuntilanak, tempat angker, memedi, lelembut, tuyul dan sebagainya telah mendominasi hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia. Hampir semua suku mempunyai konsep dan pencitraan tersendiri tentang hal tersebut. Hal itu bertahan dalam konsep kehidupan masyarakat karena diwariskan secara turun temurun dalam keluarga. Bahkan selalu disosialisasikan sebagai dongeng pengantar tidur.
Hasil penelitian Clifford Geertz (Ruslani, 2003:63) menguraikan tiga pokok jenis makhluk halus yang dipercayai oleh sebagian besar orang Jawa: memedi (secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus) dan tuyul. Dalam masyarakat Bali dikenal yang namanya leak, dalam masyarakat Lombok dikenal yang namanya dewa, demikian juga dengan daerah-daerah yang lain selalu mempunyai konsep tersendiri tentang makhluk gaib.
Dalam tataran perilaku, maraknya fenomena perdukunan, pesugihan, jimat dan bekal-bekalan di kalangan masyarakat dan sebagainya merupakan suatu fenomena yang menjadi realitas dalam masyarakat Indonesia. Bahkan menurut Ruslani (2003:147) terdapat banyak tempat yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Jawa yaitu Gunung Kawi di Jawa Timur, gunung kemukus di Kedung Ombo, Jawa Tengah, dan gunung Guci di Slawi, Jawa Tengah.
Kepercayaan atas kekuatan roh atau mitos tertentu merupakan bentuk lain pengaruh adat istiadat dan budaya terhadap sistem kepercayaan masyarakat muslim. Wujud kepercayaan tersebut semisal upacara nyadran atau juga dikenal dengan sebutan petik laut. Upacara ini ditujukan untuk memberikan penghormatan dan sesembahan kepada penguasa laut yang dikenal dengan Nyi Roro Kidul.
Di daerah Jember Jawa Timur, masyarakat sering mengadakan ritual sumpah pocong sebagai sebuah solusi untuk menentukan kebenaran. Ritual ini biasanya dilakukan ketika masyarakat berselisih dan saling tuduh menuduh terhadap teman, saudara atau tetangga mereka yang dianggap telah menyantet seseorang sehingga menyebabkan sakit yang tak kunjung sembuh dan susah diidentifikasi secara medis.
Kepercayaan masyarakat yang sangat mendalam terhadap nilai-nilai budaya setempat juga terlihat dalam upaya pengobatan penyakit. Masyarakat Indonesia hampir seluruhnya mengenal dukun sebagai juru sembuh alternatif. Khususnya untuk penyakit-penyakit yang dianggap disebabkan oleh sihir. Ilmu sihir selalu dikaitkan dengan dukun sebagai pihak yang menguasai kekuatan sihir.
Dalam dunia pengobatan masyarakat mengenal dukun sebagai juru sembuh alternatif. Walaupun pengobatan secara medis atau kedokteran telah masuk dalam berbagai lapisan masyarakat, namun sebagian masyarakat tetap menjadikan dukun sebagai juru sembuh alternatif. Penyakit-penyakit yang tidak bisa dideteksi dan disembuhkan di rumah sakit dibawa ke dukun. Hasil dari berobat ke dukun sangat membantu masyarakat khususnya untuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan di rumah sakit. Selain itu secara ekonomi berobat ke dukun lebih murah daripada ke dokter.
Dalam konsep agama islam, mendatangi dan meminta pertolongan kepada dukun sangat dilarang. Hal itu karena dalam kerjanya dukun sering bekerjasama dengan jin sebagai perewangan (khadam/patner) dan tukang sihir. Secara umum profesi dukun sebenarnya telah memiliki konotasi negatif sejak zaman jahiliyah. Sehingga tatakala orang-orang musyrik jahiliyah ingin menjauhkan manusia dari Nabi, mereka sebarkan isu dan mereka memberi gelar “kahin” (dukun) atau sahir (tukang sihir) agar orang-orang menjauh dari Nabi. (Ruslani, 2003:248)
Pergesekan antara nilai budaya dan adat istiadat dengan agama menumbuhkan diskursus baru tentang upaya pemurnian agama. Perbedaan pandangan dalam menyikapi pengaruh perkembangan nilai adat dan budaya atas tatanan agama menimbulkan adanya friksi dalam suatu agama. Salah satu golongan mempertahankan ajaran agama secara tekstual, kelompok lain lebih mengakomodasi perkembangan adat istiadat dan budaya.
Sebagian masyarakat muslim yang tidak dapat menerima pengaruh adat istiadat dan budaya dalam kehidupan beragama berupaya untuk “membersihkan” ajaran agama islam dari unsur-unsur tersebut. Kelompok ini dikarakterkan oleh ide dan tindakan memperbaharui atau memurnikan ajaran islam dari unsur budaya. Kelompok pembaharu (pemurnian) ini berupaya menghilangkan kepercayaan kepada tempat khusus, roh, mitos dan makhluk halus lainnya. Selain itu kepercayaan terhadap dukun sebagai penyembuh penyakit.
Kelompok pemurnian mengenalkan sistem pengobatan alternatif, yaitu dengan ruqyah syar’iyah. Merupakan suatu metode pengobatan secara non medis dengan bacaan Al-Quran dan doa sebagai upaya untuk mengobati penyakit fisik dan non fisik (hati). Di sisi lain metode pengobatan ini menurut kelompok pemurnian ditujukan untuk meluruskan aqidah masyarakat yang selama ini mempercayai hal ghaib tidak sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Banyaknya masyarakat Jember yang tertarik mengikuti dan menyelenggarakan ruqyah syar'iyah merupakan suatu fenomena yang menarik untuk diteliti. Khususnya berkenaan dengan penyebab ketertarikan masyarakat terhadap ruqyah syar'iyah, alasan masyarakat memilih ruqyah syar'iyah, kualifikasi pelaksanaan ruqyah syar’iyah sebagai metode penyembuhan dan sebagai upaya peningkatan keimanan serta pemurnian agama.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini ada tiga yaitu,
1. Mengapa sebagian komunitas muslim di Jember melakukan ruqyah syar'iyah sebagai upaya purifikasi aqidah?
2. Bagaimanakah mekanisme pengembangan transformasi perilaku keagamaan melalui ruqyah syar'iyah?
3. Bagaimanakah dampak ruqyah syar'iyah sebagai upaya purifikasi nilai-nilai keagamaan?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penyebab dikembangkannya praktek ruqyah syar’iyah sebagai upaya purifikasi aqidah;
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan mekanisme pengembangan transformasi perilaku keagamaan melalui ruqyah syar’iyah;
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan dampak ruqyah syar’iyah sebagai upaya purifikasi nilai-nilai keagamaan bagi komunitas muslim Jember.
D. TINJAUAN PUSTAKA
a. Konsep dan sejarah Ruqyah Syar’iyah
Ruqyah syar’iyah adalah bacaan yang terdiri dari ayat al-qur’an dan hadits yang shahih untuk memohon kepada Allah akan kesembuhan orang yang sakit (Bishri, 2004:17). Sebenarnya ruqyah terdiri atas ruqyah syar’iyah dan ruqyah sirkiyyah. Karakteristik ruqyah sya’iyah dan ruqyah sirkiyyah menurut Bhisri (2004:22) adalah:
Ruqyah syar’iyah memohon pertolongan kepada Allah dengan cara dan bacaan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan ruqyah sirkiyyah memohon bantuan kepada selain Allah atau memohon kepada Allah dan kepada selain Allah dan bacaannya pun tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Walaupun kadang-kadang caranya mirip dengan ruqyah syar’iyah atau mengkombinasikan antara ruqyah sya’iyah dan ruqyah sirkiyyah, dengan begitu pelakunya telah mencampurkan antara yang haq dengan yang batil, dan perbuatan seperti itu sangat disukai oleh setan.
b. Kerangka Teori
Besarnya pengaruh adat istiadat dan budaya dapat bersinggungan dengan konsep keimanan atas suatu hal ghaibdalam agama. Sehingga pengaruh adat istiadat dan budaya dimungkinkan bersaing dengan nilai-nilai agama yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, dalam menanggapi pergesekan tersebut terdapat upaya untuk memurnikan perilaku keagamaan masyarakat.
Ruqyah syar’iyah merupakan upaya transformasi perilaku keagamaan yang ditujukan untuk terapi pengobatan melainkan sebagai purifikasi atau pemurnian aqidah masyarakat. Transformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan rupa, bentuk, sifat dan sebagainya. Oleh karena itu transformasi juga merupakan perubahan sosio-kultural. Transformasi perilaku keagamaan yang dimaksud adalah melihat pergeseran perilaku keagamaan masyarakat, dari perilaku sinkretis menuju perilaku puritan.
Dalam perubahan sosio-kultural menurut Hanafi (1981: 16) terdiri dari tiga tahap berurutan yaitu, 1) invensi, yaitu suatu proses penciptaan ide-ide baru, 2) difusi, proses pengkomunikasian nilai-nilai tersebut ke dalam masyarakat (sosialisasi), 3) konsekuensi, perubahan yang terjadi.
Berdasarkan tiga tahapan di atas maka peneliti membagi pembahasan menjadi tiga pokok; pertama proses penciptaan ide-ide baru, dalam hal ini berkaitan dengan alatar belakang ruqyah syar’iyah. Kedua, berkaitan dengan proses pengkomunikasian ide-ide (nilai-nilai) tersebut kepada masyarakat (proses sosialisasi). Ketiga, berkaitan dengan konsekuensi dari nilai-nilai yakni dampak ruqyah syar’iyah bagi masyarakat dalam hal ini hasil dari proses transformasi perilaku.
Dalam proses pencarian ide-ide atau eksternalisasi nilai untuk memberi solusi atas kondisi yang ada di masyarakat, maka ruqyah syariyah sebagai mekanisme transformasi merupakan penciptaan ide-ide baru (dalam hal ini di Indonesia) sebagai alternatif pengobatan. Selanjutnya ide tersebut diobjektivasi oleh kelompok pemurnian sebagai kenyataan objektif dalam bingkai pengobatan alternatif. Selanjutnya adalah proses internalisasi, dimana proses ini merupakan mekanisme penanaman nilai dan merubah perilaku masyarakat. Penanaman nilai akan berhasil apabila masyarakat telah mau meninggalkan perilaku lama dan menerima perilaku baru dalam hal ini ruqyah syariyah sebagai metode pengobatan alternatif.
Dalam menganalisa hasil penelitian penulis menggunakan teori Berger dan Luckman yaitu teori eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi menunjuk pada proses kreatif manusia, objektivasi menunjuk pada proses dimana hasil-hasil aktivitas kreatif tersebut mengkonfrontasi individu sebagai kenyataan objektif, dan internalisasi menunjuk pada proses dimana kenyataan eksternal itu menjadi bagian dari kesadaran subyektif individu atau internalisasi terjadi melalui proses sosialisasi.
Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui ekternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Masyarakat dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi (Berger dalam Kahmad, 2002:54-55)
Berger berhujjah bahwa realitas social harus dilihat sebagai penataan pengalaman. Masyarakat melegitimasi tindakan-tindakan mereka dengan merujuk kepada tradisi-tradisi, sains atau agama. Ketika legitimasi sudah diakui secara umum maka mereka akan menggunakan pengaruhnya untuk menciptakan struktur kredibilitas. Agama, sebagai falsafah hidup menciptakan legitimasi tertinggi dan mempengaruhi system makna serta memunculkan factor baru yang penting untuk perubahan.
E. HASIL PENELITIAN
1. Penyebab Dikembangkannya Praktek Ruqyah Syar’iyah Sebagai Upaya Purifikasi Aqidah
Masyarakat merupakan suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan golongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Keseluruhan ini dinamakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah (Iver dan Page dalam Soekanto, 2001).
Masyarakat merupakan tempat bercampuraduknya berbagai macam nilai, baik nilai agama, budaya, adat istiadat maupun kepercayaan. Dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, terdapat berbagai macam bentuk perilaku beragama masyarakat. Berbagai macam bentuk perilaku keagamaan tersebut mengkotakkan masyarakat berdasarkan praktik-praktik keagamaan.
Demikian juga halnya di Jember, masyarakat terkotakkan menjadi dua, yaitu masyarakat sinkretis dan kelompok pemurnian. Masyarakat sinkretis, adalah masyarakat yang beragama Islam tetapi percaya kepada dukun, roh leluhur, paranormal, tukang sihir, arwah penasaran, dan lain-lain. Dalam perilaku keagamaan mereka masih memberikan sesajen untuk tempat-tempat yang dianggap keramat, masih mendatangi dukun untuk meminta pengobatan, masih mendatangi tempat-tempat angker untuk pesugihan, melakukan sihir, bekal-bekalan dan lain sebagainya.
Kelompok yang kedua adalah kelompok pemurnian, yaitu kelompok yang berusaha menjalankan ajaran agama islam secara tekstual dan jargon utamanya adalah kembali ke al-Quran dan Hadits. Kelompok ini cenderung bersikap tidak akomodir terhadap kepercayaan masyarakat yang bersumber dari nilai budaya dan adat istiadat. Para pengkaji islam di Indonesia menyebut mereka sebagai bagian dari gerakan puritan, sebagian lagi menyebutnya islam reformis, islam modern dan yang lain menyebutnya Islam pembaharu.
Sejumlah warga masyarakat muslim Jember yang tidak menerima nilai budaya dan adat istiadat berusaha untuk mempertahankan ajaran Islam secara tekstual dan berupaya memurnikan aqidah masyarakat yang terlihat dalam perilaku beragama. Menurut mereka aqidah masyarakat selama ini telah banyak bercampur dengan nilai budaya dan adat istiadat. Dimana nilai budaya dan adat istiadat tersebut dianggap bertentangan dengan konsep aqidah islam. Kelompok pemurnian menganggap aqidah yang bercampur aduk dengan adat istiadat mengandung kesyirikan, dalam hal titual dianggap bid’ah dan dalam muammalah dianggap khurafat.
Maraknya fenomena mistik atau perdukunan di Jember, terlihat dari banyaknya tindakan sumpah pocong yang dilakukan oleh masyarakat. Hal itu menunjukkan bahwa ternyata masyarakat banyak yang menganggap bahwa penyakit-penyakit tersebut disebabkan oleh dukun, walaupun sangat susah sekali membuktikannya. Selain kepercayaan terhadap dukun,masyarakat banyak yang mengkeramatkan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Benda-benda tersebut dikenal dengan sebutan jimat. Manusia menggunakan jimat sebagai upaya mendapatkan perlindungan dari gangguan-gangguan manusia jahat atau makhluk halus. Jimat tidak hanya berbentuk benda-benda aneh, bahkan ayat-ayat al-Qur’an, tanah, batu, keris dan sebagainya sering dijadikan jimat. Seperti yang ditemukan oleh Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto (dalam Ruslani, 2003:105-106) ada 14 jenis dukun yang terdapat dalam masyarakat.
Ketidaksesuaian pemahaman antara masyarakat pada umumnya dengan kelompok pemurnianlah yang menjadi penyebab dikembangkannya suatu upaya pemurnian. Gerakan-gerakan antusiasme keagamaan dalam upaya membangkitkan kembali nilai-nilai agama (revivalisme) mulai banyak bermunculan, mulai dari upaya intensifikasi keislaman, islamisasi organic, islamisasi sistemik, fundamentalisme, militanisme dan radikalisme. (Azra, 1999:47).
Menurut Madjid (2000:552) sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsure terjadinya transformasi social suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan islam. Karena itu kedatangan islam di suatu negeri dapat bersifat destruptive.
Menurut kelompok pemurnian (tim peruqyah) metode pengobatan yang dilakukan oleh dukun disebut sebagai ruqyah syirkiyyah. Yaitu metode pengobatan yang menggunakan bantuan makhluk halus, kemenyan, bunga, keris dan sebagainya. Menurut kelompok pemurnian, masyarakat melakukan itu karena tidak mengetahui bagaimana hukum mendatangi dukun. Sehingga sangat penting sekali untuk member pemahaman dan merubah perilaku masyarakat dengan cara memberikan alternative pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus atau oleh sihir, yaitu melalui terapi pengobatan ruqyah syar’iyah.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan:
Selama ini banyak kesyirikan di masyarakat dan banyak kyai yang hanya mengatakan bahwa syirik itu haram, pergi ke dukun itu hukumnya tidak diterima sholatnya selama 40 hari, namun belum ada solusi yang diberikan secara konkrit. Oleh karena itu tim peruqyah menawarkan konsep yang selama ini telah ada di zaman nabi, namun tidak dikenal di Indonesia.
Masyarakat Jember sebagai bagian dari masyarakat Indonesia merupakan kalangan masyarakat muslim yang memiliki nuansa mistis yang sangat kuat dan perilaku beragama yang sinkretis. Warisan leluhur tentang nilai sakral, tabu dan kepercayaan terhadap hal mistis masih melekat erat dalam budaya masyarakat, termasuk pada benda keramat, pesugihan, dukun dan sebagainya.
Berdasarkan kondisi diatas maka tujuan dikembangkannya ruqyah syariyah adalah:
a. Melawan setan dan memurnikan aqidah
Kelompok pemurnian berpandangan bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia, karena setan akan berusaha mengajak manusia untuk bermaksiat kepada Allah. Setan dalam konsep agama Islam akan berusaha dengan cara apapun untuk menggoda manusia, hal itu telah diikrarkan oleh bebuyutnya –iblis-, ketika Allah mengusir mereka dari surga.
Berdasarkan sejarah perkembangan gerakan islam, selama ini wacana yang dibawa oleh kelompok pembaharu (pemurnian) adalah wacana kebenaran tunggal. Yang dimaksud dengan wacana kebenaran tunggal adalah pertama bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridloi Allah dan kedua, bahwa berbagai praktek local seperti bid’ah, takhyul, khurafat dan syirik adalah tidak berdasarkan islam .
Aneka ragam bentuk perilaku keagamaan masyarakat selama ini telah dikenal bercampurbaur dengan konsep budaya dan adat istiadat. Resep-resep yang lahir dari sinkretisme antara budaya dengan agama melahirkan bentuk baru yang dipraktekkan dan diyakini oleh penganutnya.
Tim peruqyah sebagai suatu komunitas yang lahir atas dasar keprihatinan terhadap kondisi aqidah masyarakat, menawarkan bentuk baru sebagai alternative pengobatan. Menawarkan konsep baru sebagai bentuk yang ideal dan “benar” dalam konsep pemahaman keagamaan mereka sebagai sebuah upaya pemurnian aqidah dari praktek adat ke konteks Islami.
Tentu saja “Islam” yang mereka tawarkan, dibentuk, dilahirkan dan dimunculkan dari sebuah kesadaran yang mana kesadaran-kesadaran tersebut memiliki sumber. Kesadaran tersebut merupakan hasil analisa dan interpretasi atas berbagai realitas social budaya yang dikaitkan dengan nilai yang seharusnya. Nilai-nilai atau dogma tersebut merupakan sumber dan panduan gerakan mereka.
b. Sebagai upaya menghidupkan kembali sunnah Nabi
Dalam kerangka ini ruqyah syar’iyah ditujukan untuk memurnikan kembali aqidah ummat Islam khususnya masyarakat muslim Jember, dari bid’ah, takhyul, khurafat, kesyirikan serta kemaksiatan. Menurut para peruqyah selama ini masyarakat telah banyak meninggalkan ajaran-ajaran pokok dalam agama islam sehingga solusi yang diberikan adalah kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah.
Ruqyah syar’iyah sebagai sebuah upaya untuk meluruskan kembali aqidah masyarakat dari kepercayaan-kepercayaan terhadap hal ghaib yang diklaim bertentangan dengan konsep islam otentik, dilakukan melalui terapi keimanan. Upaya-upaya untuk meluruskan kembali aqidah masyarakat dan mengajak kepada Al-Qur’an dan Sunnah menurut Dawam Rahardjo adalah merupakan gerakan puritanisme . Puritanisme merupakan sikap dan keinginan untuk selalu menghadirkan dan mempraktekkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
c. Sebagai metode dakwah efektif
Ketika realitas objektif telah terbentuk, maka selanjutnya yang dilakukan oleh kelompok tersebut adalah proses internalisasi nilai kepada masyarakat. Proses internalisasi nilai dalam kelompok ini dikenal dengan istilah dakwah. Dakwah menurut Arifin (2000:6) adalah:
Dakwah mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan dan pengamalan ajaran agama sesuai pesan yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.
Secara sosiologis dakwah merupakan upaya untuk mentransmisikan nilai kepada masyarakat dengan cara sosialisasi ide-ide. Sosialisasi ide tersebut sebagai upaya untuk mentransmisikan nilai ideal. Dalam proses demikian, interaksi antar nilai ideal dengan tradisi local memungkinkan adanya dialog antar orientasi nilai masing-masing.
Ruqyah syar’iyah tidak hanya sebuah metode pengobatan, namun lebih dari itu merupakan sarana sosialisasi nilai yang sangat efektif untuk memahamkan masyarakat tentang konsep ideal agama islam. Kegiatan tersebut mampu mentransfer pemikiran-pemikiran untuk memperbaharui konsep sinkretisme yang dipahami oleh masyarakat.
Selain dilakukan secara pribadi, ruqyah juga dilakukan secara missal. Hal itu dilakukan sebagai sarana yang sangat efektif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Jumlah peserta yang banyak memudahkan dalam pemberian pemahaman secara menyeluruh.
Dalam proses sosialisasi terjadi sebuah interaksi antara satu individu dengan individu lain. Interaksi social diartikan sebagai bentuk hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku seseorang dirubah oleh orang lain.
2. Mekanisme Pengembangan Transformasi Perilaku Keagamaan Melalui Ruqyah Syar’iyah
Dalam upaya pengembangan nilai-nilai keagamaan agar diterima oleh masyarakat, berbagai cara digunakan diantaranya sebagai berikut:
a. Transferensi nilai dan dekulturasi budaya
Manusia dalam hubungannya dengan masyarakat mempunyai hubungan dialektik, dalam kehidupan sehari-hari manusia memiliki dimensi obyektif dan subyektif. Manusia sebagai individu kreatif adalah pencipta kenyataan social yang obyektif melalui proses ekternalisasi.
Demikian juga dengan ruqyah syar’iyah, yang dikembangkan sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai islam. Upaya untuk menciptakan realitas obyektif dilakukan melalui ektrenalisasi, yakni kegiatan kreatif individu-individu yang membentuk realitas obyektif yaitu masyarakat islami. Proses ekternalisasi dilakukan melalui upaya menginterpretasikan kembali tradisi-tradisi dalam kaitannya dengan sinkretisme dan juga tradisi manakah yang merupakan nilai keagamaan. Para tim peruqyah berupaya meluruskan kembali aqidah masyarakat yang telah terbengkokkan oleh sinkretisme. Maka dalam proses tersebut tim peruqyah berkeinginan untuk menciptakan masyarakat yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits, serta berperilaku sesuai dengan aturan syariat.
Melalui meknisme pengobatan ruqyah syar’iyah yang telah menjadi kenyataan objektif, kembali diinternalisasikan nilai-nilai kepada individu-individu dalam masyarakat, oleh karena itu proses transformasi tidak terlepas dari proses sosialisasi. Menurut Sanderson (1995) dalam Ridjal (2004:101) “sosialisasi merupakan suatu proses dimana manusia berusaha menyerap isi kultur yang berkembang di tempat kelahirannya”. Dengan demikian proses transformasi perilaku keagamaan berkaitan erat dengan kultur yang dibawa oleh individu yang akan menerima transfer ide-ide atau nilai baru tersebut.
Dalam proses transformasi perilaku maka implikasinya adalah terjadi upaya dekulturasi kultur dan juga ekstinksi budaya. Dekulturasi budaya berkaitan dengan upaya untuk menghilangkan nilai-nilai lama dan mengkondisikan masyarakat untuk menerima nilai-nilai baru yang lebih ideal. Budaya-budaya lama yang bertentangan dengan konsep baru yang ideal dianggap tidak layak hidup di masyarakat. Dekulturasi berkonsekuensi pada ekstinksi (pemunahan) budaya lama. Itu mengapa pergi ke dukun, memakai jimat, meminta bantuan tukang sihir dan sebagainya menjadi sebuah persyaratan mutlak untuk ditinggalkan.
Jimat misalnya, pada saat pelaksanaan ruqyah syar’iyah tidak hanya diserahkan tetapi harus dimusnahkan. Bahkan dijual saja tidak boleh. Hal itu tidak hanya berkaitan dengan pemusnahan benda yang diyakini, namun lebih pada pengkonstruksian kembali pemikiran masyarakat akan tidak berharganya dan tidak berdayanya benda-benda tersebut.
Ketika seseorang telah mau dan berani membakar jimatnya maka saat itu dia telah siap meninggalkan apa yang selama ini dianggapnya sebagai pelindung, penglaris, pemudah segala urusannya dan sebagainya. Namun, ketika seseorang masih ragu-ragu maka kemauan dan keberaniannya untuk meninggalkan praktek lama masih dipertanyakan. Oleh karena itu, tim peruqyah sangat menekankan untuk menghindari keterlibatan dengan hal-hal yang bersifar bid’ah, takhyul, khurafat dan juga menjaga diri dari kemaksiatan.
Pada proses ini terjadi upaya pemberian nilai yang negative terhadap sikap hidup masyarakat yang bertentangan dengan akidah keislaman. Sehingga dekulturasi adalah sebagai upaya untuk merubah masyarakat dan upaya untuk memurnikan kembali aqidah masyarakat.
b. Transformasi tradisi dan strategi pengobatan alternatif
Transformasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah perubahan rupa, bentuk, sifat dan sebagainya. Dalam perubahan membutuhkan upaya sosialisasi dan strategi. Ruqyah syar’iyah dalam upaya melakukan purifikasi aqidah memakai strategi pengobatan alternatif.
Penghancuran patung, lukisan dan juga jimat merupakan bentuk konkrit kesungguhan untuk melangkah melakukan perubahan. Patung, lukisan dan jimat seringkali pelindung atau bahkan dipuja. Islam memandang pemujaan terhadap benda-benda tersebut adalah bertentangan dengan akidah.
Upaya untuk mentranformasi tradisi selain dilakukan dengan melarang masyarakat untuk meminta pertolongan dukun dan memberi alternatif pengobatan yang lebih sesuai dengan akidah keislaman. Dilakukan juga ritual wudlu. Wudlu ditujukan sebagai sebuah upaya untuk mensucikan diri dari na’jis dan lebih dari itu berwudlu mempunyai makna membersihkan jiwa dan raga dengan berharap selalu dilingkupi kesucian. Ketika akan diruqyah peserta diminta untuk berwudlu terlebih dulu
3. Dampak Ruqyah Syar’iyah Sebagai Upaya Purifikasi Nilai-Nilai Keagamaan Bagi Komunitas Muslim Jember
a. Dampak positif
Beberapa informan mengaku mendapatkan dampak yang positif dari terapi pengobatan ruqyah syar’iyah. Berikut beberapa dampak positif yang dirasakan oleh beberapa informan:
1) Peningkatan kadar keimanan
2) Peningkatan intensitas ibadah
3) Meninggalkan perilaku pengkultusan terhadap benda pusaka, mantra-mantra, kepercayaan yang berlebihan terhadap tradisi, dan pengkultusan terhadap kyai.
b. Dampak negatif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar