Menelusuri jejak radikalisme di Indonesia
dan solusi alternatif penanganannya
oleh: Baiq Lily Handayani, S.Sos *
Benih-benih radikalisme dan terorisme sebenarnya tumbuh sebagai bentuk rasa keprihatinan terhadap nasib yang dialami oleh sesama. Hal itu juga didukung oleh kekecewaan terhadap sikap pemerintah yang kurang berempati dan akomodatif atas apa yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya stres psikis dan stress sosial. Kondisi sosial budaya ekonomi dan politik merupakan penyebab tumbuhnya tindakan-tindakan radikal. Tindakan represif dari pemerintah tidak akan mematikan mata rantai radikalisme dan terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, perlu tindakan akomodatif pemerintah untuk mengakomodir aspirasi rakyatnya. Institusionalisasi kelompok-kelompok radikal dapat menjadi alternatif solusi, selain dengan cara memasukkan materi paradigma jihad dari sudut pandang lain pada mata pelajaran madrasah pada khususnya.
Kata kunci:Terorisme, Radikalisme, institusionalisasi, jihad, kelompok-kelompok
Belakangan ini perkembangan pergerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia sangatlah pesat. Namun sebenarnya jika dianalisa, potensi-potensi radikalisme dan separatisme di Indonesia telah ada bahkan sejak Indonesia itu lahir. Potensi-potensi itu ada disebabkan oleh konstruksi sosial budaya dan bahkan geografis Indonesia.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki kakakter yang berbeda antara satu pulau dengan pulau yang lain. Setiap pulau mengkonstruksi identitas tersendiri kepada penduduknya. Hal itu berdasarkan mata pencaharian, sistem kekerabatan, kepercayaan, pola pemukiman dan lingkungannya. Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan berbagai kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut (cultural activities), misalnya pertanian, nelayan, perdagangan, dan lain sebagainya.
Apabila dianalisa dari sudut pandang sejarah, maka radikalisme yang seringkali akhirnya diidentikkan dengan ummat islam terlahir jauh sebelum Indonesia terbentuk. Namun, dahulu radikalisme ini tidak dipandang dengan makna yang bersifat assosiatif. Akan tetapi, pengertian radikalisme untuk saat ini sering dimaknai secara assosiatif. Hal itu karena selama ini di Indonesia gerakan radikalisme, kerap menjadi kelompok-kelompok radikal yang justru melakukan upaya perubahan dengan tindakan kekerasan dan dengan cara yang merusak.
Dahulu, peran radikal ummat islam dihargai sebagai sebuah perjuangan jihad melawan penjajah. Sejarah mencatat sebagian besar para pejuang berasal dari masyarakat islam. Selain karena semangat juang untuk membebaskan diri dari penjajah yang mengeksploitasi nusantara, juga karena semangat penjajahan yang dibawa oleh kolonialis adalah semangat melanjutkan perang salib.
Seperti yang penulis kutip dalam salah satu situs sejarah Islam Nusantara, sebagai berikut:
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Jadi, apabila dianalisa dari sudut pandang sejarah maka sikap-sikap jihad dan solidaritas sesama ummat islam telah terbentuk sejak dahulu. Semangat solidaritas inilah yang menjadi salah satu akar dari adanya semangat untuk ingin membantu saudara seagama, dan akhirnya terlahirlah sebuah perjuangan untuk membalas. Semangat perjuangan ini pula yang pada akhirnya dimaknai sebagai sikap terorisme oleh kelompok yang menjadi sasaran.
Radikalisme dan terorisme sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Namun, kedua hal ini bisa jadi muncul karena sebab yang sama. Banyak gerakan radikalisme yang muncul karena frustasi atas kondisi sosial, ekonomi, politik dan bahkan agama. Radikalisme sebenarnya sebagai sebuah perwujudan keinginan masyarakat untuk hidup lebih baik. Namun, pada kenyataannya radikalisme lebih terlihat sebagai sebuah upaya perubahan yang dilakukan dengan cara-cara yang radikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Ikhtiar Baru (1995) pengertian radikalisme, adalah satu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastis.
Radikalisme dalam hal ketimpangan pembangunan daerah bisa menyebabkan munculnya separatisme. Sikap politik pemerintah dapat memicu keresahan dalam masyarakat. Sehingga, radikalisme politik, lebih menjurus kepada perebutan kekuasaan suatu daerah tertentu dengan cara pemberontakan. Sebagai contoh, yaitu GAM, GPM, OPM ataupun RMS.
Radikalisme dalam agama, memunculkan sikap ekstrim dan radikal yang akhirnya bisa memunculkan terorisme. Jika, kita menakar mengapa radikalisme dan terorisme ini mudah sekali muncul dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Maka, analisa yang bisa kita pakai adalah analisis sosial budaya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia sangat majemuk. Indonesia terdiri atas puluhan ribu pulau yang tersebar di seluruh Indonesia, setiap pulau memiliki suku, dan dengan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itulah yang memungkinkan adanya potensi konflik pada masyarakat Indonesia. Selain karena faktor sejarah, dimana dahulu Indonesia merupakan pulau yang terdiri atas berbagai macam corak kerajaan, baik berdasarkan agama maupun kedaerahan.
Pada perkembangan selanjutnya ketika Nusantara telah menjadi sebuah Negara Indonesia yang bersatu di bawah komando presiden. Tidak berarti bahwa semua unsur kerajaan di Nusantara tunduk dengan serta merta. Hanya semangat juang kemerdekaanlah yang akhirnya membuat mereka mau untuk tunduk di bawah kekuasaan satu kepala Negara, dengan syarat-syarat tertentu.
Akan tetapi, sekali lagi sejarah mencatat bahwa terdapat sekian banyak pergolakan-pergolakan dari daerah. Motifnya beragam, namun yang pasti hampir semuanya melakukan upaya separatis karena penafsiran atas sikap pemerintah pusat yang tidak adil terhadap pemerataan pembangunan.
Selain itu, kekecewaan-kekecewaan masyarakat atas sikap lepas tangan pemerintah terhadap suatu hal yang menyebabkan kegalauan masyarakat muslim khususnya merupakan suatu hal yang bisa mengobarkan bara radikalisme dan terorisme. Kegalauan atas nasib yang dialami masyarakat muslim di dunia, khususnya di palestina. Seperti yang telah ditulis diatas, bahwa semangat solidaritas keislaman sangat tinggi sejak dahulu kala.
Akhirnya kekecewaan-kekecewaan pun bermunculan. Inisiatif untuk mendirikan kelompok sendiri untuk melawan kekejaman Israel, dengan cara apa adanya dan semampunya. Begitulah akhirnya, apa yang terjadi. Orang-orang yang sebenarnya bukan pelaku menjadi korban dari sasaran kemarahan mereka.
Secara sosiologis, perasaan sebangsa (bangsa Islam) menciptakan sebuah solidaritas social yang sangat tinggi. Ketika solidaritas social telah terbentuk, untuk melakukan suatu upaya gerakan social juga sangat mudah. Terlebih lagi yang melakukan provokasi adalah tokoh-tokoh yang disegani.
Banyak sekali contoh-contoh yang kita temukan di Indonesia, dimana banyak gerakan-gerakan social yang dimulai dari adanya tablig akbar. Demikian juga pelaku-pelaku terorisme banyak yang berasal dari pondok pesantren, dimana patronasenya sangat tinggi.
Lihatlah ketika Israel membombardir warga palestina, ketika Amerika membombardir Irak dan Afghanisthan. Apa yang terjadi. Hal itu tidak membuat ciut nyali-nyali para muslim di seluruh dunia. Justeru semakin membangkitkan jiwa jihad mereka. Ingat. Pemberantasan teroris secara membabi buta tidak akan menghabiskan generasi itu.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mengakomodasi kelompok-kelompok radikal seperti tersebut di atas. Dalam bahasa sosiologi terdapat sebuah metode yang sering dipakai untuk menghadapi gejolak-gejolak dalam sebuah masyarakat, yakni memanage konflik itu sendiri. Istilah ini sering dikenal dengan institusionalisasi konflik.
Institusionalisasi konflik bisa dilakukan dengan cara membuat katup-katup penyelamat. Misalnya, salah satu dengan cara memasukkan materi-materi tentang Persfektif jihad di dalam kurikulum pesantren. Dimana pesantren merupakan lembaga yang sangat mudah untuk mencetak kader-kader teroris. Melalui kurikulum pelajaran ini, siswa akan diajak berpikir tentang jihad dari sudut pandang yang lain.
Selain itu, dapat juga membuat kelompok-kelompok solidaritas untuk Palestina yang mana melalui kelompok-kelompok itu mereka bisa menyalurkan aspirasi kepada pemerintah, dan bahkan bisa menyalurkan bantuan-bantuan kepada rakyat palestina dan yang lainnya yang terdzalimi. Dengan adanya kelompok-kelompok tersebut maka pemerintah akan mudah memantau perkembangan dan pergerakan mereka.
Hanya kelompok-kelompok tertentu atau bisa dibentuk kelompok nasional yang diakui, sehingga jika ada kelompok lain yang muncul maka pemerintah bisa memberikan tindakan yang tegas. Hanya kelompok yang diakui dan jelas visi misinya yang bisa diakomodir. Hal itu tentu akan lebih mempermudah pemerintah dalam memantau perkembangan bibit-bibit terorisme ataupun radikalisme di Indonesia.
Contoh dari adanya institusionalisasi solidaritas kelompok ini adalah LSM Mer-C. MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) adalah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan mempunyai sifat amanah, profesional, netral, mandiri, sukarela, dan mobilitas tinggi. Mereka berusaha untuk menolong.
Kelompok Front Pembela Islam, juga merupakan kelompok yang radikal dan sering bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, keberadaan mereka yang telah terlembaga memudah control dan pemantauan terhadap gerakan-gerakan mereka.
dan solusi alternatif penanganannya
oleh: Baiq Lily Handayani, S.Sos *
Benih-benih radikalisme dan terorisme sebenarnya tumbuh sebagai bentuk rasa keprihatinan terhadap nasib yang dialami oleh sesama. Hal itu juga didukung oleh kekecewaan terhadap sikap pemerintah yang kurang berempati dan akomodatif atas apa yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya stres psikis dan stress sosial. Kondisi sosial budaya ekonomi dan politik merupakan penyebab tumbuhnya tindakan-tindakan radikal. Tindakan represif dari pemerintah tidak akan mematikan mata rantai radikalisme dan terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, perlu tindakan akomodatif pemerintah untuk mengakomodir aspirasi rakyatnya. Institusionalisasi kelompok-kelompok radikal dapat menjadi alternatif solusi, selain dengan cara memasukkan materi paradigma jihad dari sudut pandang lain pada mata pelajaran madrasah pada khususnya.
Kata kunci:Terorisme, Radikalisme, institusionalisasi, jihad, kelompok-kelompok
Belakangan ini perkembangan pergerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia sangatlah pesat. Namun sebenarnya jika dianalisa, potensi-potensi radikalisme dan separatisme di Indonesia telah ada bahkan sejak Indonesia itu lahir. Potensi-potensi itu ada disebabkan oleh konstruksi sosial budaya dan bahkan geografis Indonesia.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki kakakter yang berbeda antara satu pulau dengan pulau yang lain. Setiap pulau mengkonstruksi identitas tersendiri kepada penduduknya. Hal itu berdasarkan mata pencaharian, sistem kekerabatan, kepercayaan, pola pemukiman dan lingkungannya. Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan berbagai kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut (cultural activities), misalnya pertanian, nelayan, perdagangan, dan lain sebagainya.
Apabila dianalisa dari sudut pandang sejarah, maka radikalisme yang seringkali akhirnya diidentikkan dengan ummat islam terlahir jauh sebelum Indonesia terbentuk. Namun, dahulu radikalisme ini tidak dipandang dengan makna yang bersifat assosiatif. Akan tetapi, pengertian radikalisme untuk saat ini sering dimaknai secara assosiatif. Hal itu karena selama ini di Indonesia gerakan radikalisme, kerap menjadi kelompok-kelompok radikal yang justru melakukan upaya perubahan dengan tindakan kekerasan dan dengan cara yang merusak.
Dahulu, peran radikal ummat islam dihargai sebagai sebuah perjuangan jihad melawan penjajah. Sejarah mencatat sebagian besar para pejuang berasal dari masyarakat islam. Selain karena semangat juang untuk membebaskan diri dari penjajah yang mengeksploitasi nusantara, juga karena semangat penjajahan yang dibawa oleh kolonialis adalah semangat melanjutkan perang salib.
Seperti yang penulis kutip dalam salah satu situs sejarah Islam Nusantara, sebagai berikut:
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Jadi, apabila dianalisa dari sudut pandang sejarah maka sikap-sikap jihad dan solidaritas sesama ummat islam telah terbentuk sejak dahulu. Semangat solidaritas inilah yang menjadi salah satu akar dari adanya semangat untuk ingin membantu saudara seagama, dan akhirnya terlahirlah sebuah perjuangan untuk membalas. Semangat perjuangan ini pula yang pada akhirnya dimaknai sebagai sikap terorisme oleh kelompok yang menjadi sasaran.
Radikalisme dan terorisme sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Namun, kedua hal ini bisa jadi muncul karena sebab yang sama. Banyak gerakan radikalisme yang muncul karena frustasi atas kondisi sosial, ekonomi, politik dan bahkan agama. Radikalisme sebenarnya sebagai sebuah perwujudan keinginan masyarakat untuk hidup lebih baik. Namun, pada kenyataannya radikalisme lebih terlihat sebagai sebuah upaya perubahan yang dilakukan dengan cara-cara yang radikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Ikhtiar Baru (1995) pengertian radikalisme, adalah satu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastis.
Radikalisme dalam hal ketimpangan pembangunan daerah bisa menyebabkan munculnya separatisme. Sikap politik pemerintah dapat memicu keresahan dalam masyarakat. Sehingga, radikalisme politik, lebih menjurus kepada perebutan kekuasaan suatu daerah tertentu dengan cara pemberontakan. Sebagai contoh, yaitu GAM, GPM, OPM ataupun RMS.
Radikalisme dalam agama, memunculkan sikap ekstrim dan radikal yang akhirnya bisa memunculkan terorisme. Jika, kita menakar mengapa radikalisme dan terorisme ini mudah sekali muncul dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Maka, analisa yang bisa kita pakai adalah analisis sosial budaya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia sangat majemuk. Indonesia terdiri atas puluhan ribu pulau yang tersebar di seluruh Indonesia, setiap pulau memiliki suku, dan dengan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itulah yang memungkinkan adanya potensi konflik pada masyarakat Indonesia. Selain karena faktor sejarah, dimana dahulu Indonesia merupakan pulau yang terdiri atas berbagai macam corak kerajaan, baik berdasarkan agama maupun kedaerahan.
Pada perkembangan selanjutnya ketika Nusantara telah menjadi sebuah Negara Indonesia yang bersatu di bawah komando presiden. Tidak berarti bahwa semua unsur kerajaan di Nusantara tunduk dengan serta merta. Hanya semangat juang kemerdekaanlah yang akhirnya membuat mereka mau untuk tunduk di bawah kekuasaan satu kepala Negara, dengan syarat-syarat tertentu.
Akan tetapi, sekali lagi sejarah mencatat bahwa terdapat sekian banyak pergolakan-pergolakan dari daerah. Motifnya beragam, namun yang pasti hampir semuanya melakukan upaya separatis karena penafsiran atas sikap pemerintah pusat yang tidak adil terhadap pemerataan pembangunan.
Selain itu, kekecewaan-kekecewaan masyarakat atas sikap lepas tangan pemerintah terhadap suatu hal yang menyebabkan kegalauan masyarakat muslim khususnya merupakan suatu hal yang bisa mengobarkan bara radikalisme dan terorisme. Kegalauan atas nasib yang dialami masyarakat muslim di dunia, khususnya di palestina. Seperti yang telah ditulis diatas, bahwa semangat solidaritas keislaman sangat tinggi sejak dahulu kala.
Akhirnya kekecewaan-kekecewaan pun bermunculan. Inisiatif untuk mendirikan kelompok sendiri untuk melawan kekejaman Israel, dengan cara apa adanya dan semampunya. Begitulah akhirnya, apa yang terjadi. Orang-orang yang sebenarnya bukan pelaku menjadi korban dari sasaran kemarahan mereka.
Secara sosiologis, perasaan sebangsa (bangsa Islam) menciptakan sebuah solidaritas social yang sangat tinggi. Ketika solidaritas social telah terbentuk, untuk melakukan suatu upaya gerakan social juga sangat mudah. Terlebih lagi yang melakukan provokasi adalah tokoh-tokoh yang disegani.
Banyak sekali contoh-contoh yang kita temukan di Indonesia, dimana banyak gerakan-gerakan social yang dimulai dari adanya tablig akbar. Demikian juga pelaku-pelaku terorisme banyak yang berasal dari pondok pesantren, dimana patronasenya sangat tinggi.
Lihatlah ketika Israel membombardir warga palestina, ketika Amerika membombardir Irak dan Afghanisthan. Apa yang terjadi. Hal itu tidak membuat ciut nyali-nyali para muslim di seluruh dunia. Justeru semakin membangkitkan jiwa jihad mereka. Ingat. Pemberantasan teroris secara membabi buta tidak akan menghabiskan generasi itu.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mengakomodasi kelompok-kelompok radikal seperti tersebut di atas. Dalam bahasa sosiologi terdapat sebuah metode yang sering dipakai untuk menghadapi gejolak-gejolak dalam sebuah masyarakat, yakni memanage konflik itu sendiri. Istilah ini sering dikenal dengan institusionalisasi konflik.
Institusionalisasi konflik bisa dilakukan dengan cara membuat katup-katup penyelamat. Misalnya, salah satu dengan cara memasukkan materi-materi tentang Persfektif jihad di dalam kurikulum pesantren. Dimana pesantren merupakan lembaga yang sangat mudah untuk mencetak kader-kader teroris. Melalui kurikulum pelajaran ini, siswa akan diajak berpikir tentang jihad dari sudut pandang yang lain.
Selain itu, dapat juga membuat kelompok-kelompok solidaritas untuk Palestina yang mana melalui kelompok-kelompok itu mereka bisa menyalurkan aspirasi kepada pemerintah, dan bahkan bisa menyalurkan bantuan-bantuan kepada rakyat palestina dan yang lainnya yang terdzalimi. Dengan adanya kelompok-kelompok tersebut maka pemerintah akan mudah memantau perkembangan dan pergerakan mereka.
Hanya kelompok-kelompok tertentu atau bisa dibentuk kelompok nasional yang diakui, sehingga jika ada kelompok lain yang muncul maka pemerintah bisa memberikan tindakan yang tegas. Hanya kelompok yang diakui dan jelas visi misinya yang bisa diakomodir. Hal itu tentu akan lebih mempermudah pemerintah dalam memantau perkembangan bibit-bibit terorisme ataupun radikalisme di Indonesia.
Contoh dari adanya institusionalisasi solidaritas kelompok ini adalah LSM Mer-C. MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) adalah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan mempunyai sifat amanah, profesional, netral, mandiri, sukarela, dan mobilitas tinggi. Mereka berusaha untuk menolong.
Kelompok Front Pembela Islam, juga merupakan kelompok yang radikal dan sering bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, keberadaan mereka yang telah terlembaga memudah control dan pemantauan terhadap gerakan-gerakan mereka.