Ads 468x60px

Sabtu, 30 April 2011

GERAKAN SATU JUTA FACEBOOKER SEBAGAI BENTUK GERAKAN SOSIAL BARU


GERAKAN SATU JUTA FACEBOOKER SEBAGAI BENTUK GERAKAN SOSIAL BARU
(Studi Kasus, Gerakan 1 Juta Facebooker Mendukung Candra dan Bibit, KPK)
Gerakan sosial berevolusi sesuai dengan karakteristik zamannya, dengan tanpa meniadakan bentuk-bentuknya yang lalu untuk tipe kejadian yang sama. Hanya saja perubahan sosial dalam masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan struktur masyarakat, yang menyebabkan adanya perubahan nilai, perubahan orientasi, perubahan ideologi, cara dan juga media yang digunakan.
Oleh: Baiq Lily Handayani

Apa yang kita pikirkan ketika dahulu mendengar kata gerakan sosial? Apa yang ada dalam bayangan kita? Mungkin saja ingatan kita langsung melayang pada gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998 yang penuh dengan aksi riot, revolt dan upaya-upaya revolusi khususnya dalam bidang politik dan sistem pemerintahan di Indonesia. Pada tahun 1966, rakyat Filipina melancarkan gerakan yang dikenal dengan nama people power-suatu gerakan berupa demonstrasi bersenjatakan Rosario dan bunga, yang berhasil menggulingkan presiden Ferdinand Marcos dan menggantikannya dengan seorang ibu rumah tangga, Corazon Aquino, janda senator Benigno Aquino Jr. Pada tahun 1989, para mahasiswa pro demokrasi di Cina melakukan berbagai aksi di lapangan Tienamen, Beijing --pawai, demonstrasi, mogok makan, pemasangan rintangan– sebelum gerakan ini ditindas dengan kekerasan oleh pihak berwajib sehingga sejumlah besar korban jiwa jatuh.
Revolusi di wilayah teknologi informasi dan komunikasi bukan hanya menawarkan pengetahuan mengenai moralitas dan etika universal serta pengetahuan sekuler mengenai alam, manusia dan dunia, namun juga membuka ruang-ruang baru bagi penyaluran aspirasi. Setiap individu yang mampu mengakses media tersebut maka dia berkesempatan untuk menyalurkan aspirasinya. Tidak peduli dia tokoh masyarakat, politikus, mahasiswa ataukah seorang buruh sekalipun, selama dia mampu mengakses media tersebut maka dia bisa mengaktualisasikan dirinya.
Isu-isu gerakan tidak lagi hanya terfokus pada isu-isu materil, namun lebih pada isu sosio-kultural yang berusaha menampilkan hak-hak individual dan kolektif menjadi tujuan pencapaiannya. Ekspresi-ekspresi tindakan kolektif yang membela komunitas, paham subnasionalisme, pencarian akar budaya dan identitas-identitas kedaerahan, tuntutan-tuntutan feminis dan penggunaan seni-seni perlawanan merupakan ideologi yang diusungnya. Gerakan sosial baru lebih sebagai bentuk refleksi pemberontakan kultural individu kontemporer.
Terjadinya kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik struktural sosial yang ada di masyarakat merupakan kondisi-kondisi dasar yang menumbuhkan gerakan-gerakan sosial. Karena kontradiksi-kontradiksi dan konflik-konflik struktural sosial merupakan sesuatu yang inheren dalam pembentukan suatu masyarakat dan organisasi sosial. Satu poin penting yang ingin ditekankan oleh Rajendra Singh dalam bukunya gerakan sosial baru, adalah bahwa situasi-situasi ketimpangan dan dominasi sosial, jika dijalankan dan dipertahankan oleh institusi-institusi dan lembaga-lembaga sosial, pada gilirannya akan menghasilkan sebuah situasi balik dimana terjadi perlawanan, penolakan dan pemberontakan menentang sistem dominasi tersebut (Rajendra Singh, 2010:19).
Terdapat sebuah budaya baru pada masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal media menyalurkan aspirasi. Jika dahulu, masyarakat hanya menyalurkan aspirasi lewat partai politik, media massa, atau dengan cara unjuk rasa turun ke jalanan. Namun, saat ini tidak hanya itu yang dipakai sebagai media untuk menyalurkan aspirasi. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan media jejaring sosial facebook.
Menurut data statistik yang dilansir CheckFacebook.com, jumlah pengguna Facebook di Indonesia telah masuk 10 besar jumlah pengguna Facebook terbesar di dunia. Indonesia bertengger di peringkat tujuh, mengalahkan Australia, Spanyol, dan Kolombia di peringkat 10.
Bahkan ketika terjadi kasus-kasus besar dalam negeri ini, seperti kasus Bibit dan Chandra, jutaan facebooker memberikan dukungan mereka terhadap kedua orang pejabat KPK tersebut. Apa yang dilakukan oleh facebooker cukup memberikan pengaruh terhadap pola pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Suatu bentuk upaya masyarakat untuk merubah sebuah sistem yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan telah menemukan bentuk dan cara yang baru melalui media yang sedang ngetrend di masyarakat, yakni melalui dunia maya. Facebook sebagai jejaring sosial yang jumlah pengikutnya sangat banyak dan dari berbagai kalangan menjadi media baru bagi upaya melakukan gerakan sosial.
Masih jelas dalam ingatan kita, pada tahun 2009, dua orang pengurus KPK yang ditahan karena sejumlah alasan yang kurang jelas. Kejadian tersebut menggugah perhatian dan simpati masyarakat, dan akhirnya mereka membentuk gerakan sejuta facebokers mendukung Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Gerakan sejuta Facebookers mendukung Chandra dan Bibit, dipelopori oleh Usman Yasin seorang dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Sampai saat ini jumlah pendukung grup ini telah mencapai 1,319,216 orang.
Bukti tingginya simpati publik terhadap Chandra-Bibit terlihat dari jumlah member (anggota) yang terus bertambah. Tercatat, dalam satu menit, jumlahnya bertambah 100 member. Dalam pengantarnya disebutkan, grup tersebut didedikasikan untuk perjuangan yang luar biasa dari Chandra dan Bibit. “Harus ada pemberian Award kepada Beliau berdua,” tulis pembuat grup gerakan tersebut. Sebagai bentuk kecintaan kepada KPK, pembuat grup mengajak mendukung gerakan itu. “Ayo kirim semua teman-teman kita, kejar target 1.000.000 Facebooker,” ajaknya.
Bahkan mereka juga mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati oleh anggotanya, Code of conduct/aturan grup. Mereka menamai diri sebagai grup yang melakukan gerakan moral dan kelompok penekan (pressure group) untuk membangun pemerintahan yang bersih (good governance). Kepada setiap anggota, admin meminta agar menyampaikan pemikiran dengan bahasa yang sopan dan agar memberikan solusi terbaik terhadap topik permasalahan. Mereka sangat menekankan kepada para anggotanya untuk tidak melakukan dan menghindari pembunuhan karakter, pengalihan isu, disinformasi, propaganda, kontra propaganda atau penyesatan.

Lalu mengapa masyarakat menggunakan facebook sebagai media penggalangan opini dan penyampai aspirasi alternatif? Berikut beberapa alasan mengapa facebook dianggap sebagai media yang cukup efektif saat ini:
 Media facebook telah dipakai oleh berbagai kalangan di Indonesia, dan sebagian besar adalah kalangan menengah ke atas. Sehingga, opini-opini tersebut lebih mudah dipantau oleh penentu kebijakan di Indonesia.
 Peran media dalam memblow up opini-opini yang ada di facebook juga sangat besar, bahkan beberapa media sering menerima pendapat secara online dari facebooker.
 Melalui media facebook semua orang bisa menyalurkan unek-uneknya, aspirasinya, ketidaksetujuannya, atau bahkan fakta-fakta yang ada di masyarakat bisa diungkap melalui dunia facebook. Sehingga semua orang merasa mempunyai posisi di dunia facebook, tidak ada yang berkuasa dan dikuasai.
 Membuat gerakan di facebook lebih gampang daripada berdemostrasi di jalan raya. Selain tidak mengganggu ketertiban umum juga tidak harus berpanas-panasan. Oleh karena itu facebook bisa dikatakan sebagai parlemen, yaitu parlemen dunia maya. Namun bukan berarti aksi jalanan tidak penting lagi.
 Jumlah pengguna facebook di Indonesia sangat banyak, sehingga sangat memudahkan untuk menggalang aksi solidaritas melalui facebook.
 Facebook memungkinkan penggunanya berpartisipasi walaupun sedang berada di luar daerah. Artinya facebook sangat mobile.
 Menggunakan facebook sangat mudah dan murah, bisa diakses dimanapun dan kapanpun baik melalui media komputer maupun HP. Bahkan sambil tidur-tiduran pun bisa.

Harus diakui aksi dukung mendukung dari dunia maya ini mampu menekan pemerintah, khususnya dalam kasus Bibit dan Chandra, presiden kemudian membentuk tim 8 untuk menyelesaikan masalah ini. Munculnya aksi solidaritas yang cukup besar ini bisa dikatakan merupakan tanda bangkitnya kekuatan masyarakat sipil yang harus diperhitungkan oleh pemerintah karena gerakan itu bisa saja berbuah menjadi people power.

Bentuk-bentuk gerakan sosial seperti yang diperlihatkan di facebook merupakan reaksi atas tersumbatnya saluran demokrasi resmi. Sekaligus reaksi terhadap kartel politik yang dipertontonkan partai politik dengan koalisi besarnya. Partai politik yang sejatinya alat perjuangan rakyat lebih doyan bersekutu dengan penguasa. Demikian juga dengan anggota DPR, mereka pun tidak bisa lagi diharapkan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Sebab 75% DPR bersatu dengan pemerintah. Akibatnya, timbul perlawanan yang luas melalui facebook.

Begitu banyaknya permasalahan yang datang bertubi-tubi dalam negara ini, membuat gerah masyarakat. Selain masalah politik, hukum, kesehatan dan hak asasi manusia, juga berimbas kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kegerahan masyarakat atas polemik-polemik tersebut menimbulkan sebuah isu yang cukup besar yaitu akan adanya aksi people power yang akan mengepung istana presiden. Namun, terbukti itu tidak terjadi.

Selain bisa menjadi media menggalang massa yang mengarah kepada people power, facebook juga sebenarnya bisa menjadi katup penyelamat. Facebook dalam hal ini sebagai media penyalur aspirasi, dimana semua orang bisa mengungkapkan opininya, memungkinkan aksi-aksi jalan menjadi terkurangi. Banyak orang yang menganggap media facebook lebih efektif dibanding turun ke jalan. Atau sudah tersalurkannya aspirasi masyarakat melalui facebook bisa meminimalisir gejolak-gejolak emosi masyarakat.

Katup penyelamat merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan struktur, konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Coser (dalam Poloma, 2000: 108) melihat katup penyelamat berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.

Dengan demikian katup penyelamat dalam hal ini facebook dapat memberikan ruang bagi pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Sehingga aksi-aksi brutal atau unjuk rasa besar-besaran bisa diminimalisir. Akan tetapi, katup penyelamat ini hanya berfungsi sebagai media penyalur saja. Dia tidak bisa menghilangkan masalah yang sebenarnya. Facebook hanya berfungsi menguatkan opini, menggalang aksi solidaritas. Oleh karena itu, tindakan-tindakan praktis lainnya masih tetap diperlukan untuk menyelesaikan konflik itu sendiri.

Dalam kasus masyarakat Indonesia, tindakan cepat dari presiden, kepolisian, dan pihak-pihak yang terkait harus tetap dilaksanakan. Karena tanpa itu, facebook justru akan menjadi media propaganda untuk menggalang aksi turun ke jalan (people power).
Seperti yang dikatakan di awal tulisan ini, bahwa berbagai bentuk gerakan sosial mengalami evolusi. Baik itu dari segi orientasi-orientasinya, ideologinya, maupun cara yang digunakan. Menurut Rajendra Singh, terdapat beberapa kriteria dari gerakan sosial baru (GSB). Pertama, kebanyakan GSB menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya mengalami penciutan dan yang sosial dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kemampuan kontrol Negara.
Kedua, secara radikal GSB mengubah paradigm Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah kelas dan konflik kelas. Ketiga, mengingat latar belakang kelas dan menentukan identitas aktor ataupun penopang aksi kolektif, GSB pada umumnya mengabaikan model organisasi serikat buruh industri dan model politik kepartaian. Dalam hal ini tujuan GSB adalah untuk menata kembali relasi Negara, masyarakat dan perekonomian, dan untuk menciptakan ruang publik yang di dalamnya wacana demokratis ikhwal otonomi dan kebebasan individual dan kolektivitas serta identitas dan orientasi mereka bisa didiskusikan dan diperiksa selalu. Keempat, berbeda dengan gerakan klasik, struktur GSB didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi, dan oleh heterogenitas basis sosial mereka.
Apabila melihat dari bentuk gerakan para facebooker, maka dia terkategori sebagai bentuk gerakan sosial baru. Dimana, terdapat adanya pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi. Basis sosial mereka pun heterogen, berasalah dari berbagai kalangan penduduk, profesi, etnik, pendidikan dan tanpa terbatas oleh batas wilayah. GSB juga menyiratkan keletihan dari representasi modernis.
“Perubahan bentuk-bentuk masyarakat –kami ajukan itu sebagai fakta- mencerminkan dan bersahut-sahutan dengan perubahan dalam bentuk gerakan social. …GSB kontemporer yang dipandang dalam persfektif ini, merupakan ‘pantulan cermin’ dari citra sebuah masyarakat baru, yang gerak penciptaannya sedang berjalan. Sebab itu, gerakan ini menandakan adanya kebutuhan akan sebuah paradigm baru tentang aksi kolektif, sebuah model alternative kebudayaan dan masyarakat dan sebuah kesadaran diri yang baru dari komunitas-komunitas tentang masa depan mereka”(Rajendra Singh, 2010:122-123).
Masyarakat telah menemukan diri mereka, dan mereka tidak hanya duduk dan mengikuti arah panah penunjuk dari sejarah evolusioner nasib mereka, mereka pun bisa mengarahkan arah panah penunjuk itu mengingat manusia adalah majikan dari nasibnya sendiri. Meningkatnya manifestasi gerakan, voluntarism, dan aksi kolektif menunjukkan penemuan diri sebuah masyarakat baru yang sedang dalam gerak penciptaannya.

Foto Bareng

Ruang Jurusan

Wisuda

Pra Jabatan

Halaman Unej

Ketersediaan Pangan Petani Tetelan : Hasil Penelitian Sanenrejo (3)

Jika diamati dari data di atas maka sesuatu yang paling dibutuhkan oleh petani adalah adanya sebuah lembaga yang bisa memberi modal utuk menanam, baik itu modal benih, pupuk, obat dan sebagainya serta sebuah lembaga yang dapat menyalurkan hasil panen mereka. Masyarakat petani tetelan sebenarnya sudah terbiasa dengan pola-pola seperti itu, sehingga peluang untuk mendirikan lembaga yang berfungsi sebagai pemberi modal dan penyalur hasil panen sangat besar. Namun, terdapat sebuat kendala yang cukup besar dan harus dipecahkan adalah bagaimana cara menyiasati agar tidak terjadi konflik anatara pemilik modal atau tengkulak dengan para pelanggannya (petani).
Selama ini para pemilik modal dan para tengkulak hanya bisa memanfaatkan petani, memeras tenaga petani, dengan menuntut sesuatu yang lebih tanpa ada keinginan timbal balik untuk meningkatkan kasejahteraan petani. Oleh karena itu, untuk menyikapi hal tersebut dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengakomodir seluruh aspek yang diperlukan oleh masyarakat petani, mulai dari penyediaan modal, proses pengolahan, penyemaian, penanaman, perawatan, pemanenan, pengolahan hasil panen, hingga pemasaran produk pertanian yang dihasilkan kepada konsumen dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat petani.
Salah satu lembaga yang bisa mengcover seluruh aspek yang tersebut diatas adalah sebuah BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) yang sering disebut juga sebagai Balai Usaha Mandiri Terpadu. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) ini merupakan suatu lembaga terpadu yang memadukan antara Baitul Maal sebagai lembaga Sosial dan Baitul Tamwil sebagai lembaga Bisnisnya. Lembaga yang mempunyai badan hukum koperasi ini sering disebut sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang intinya koperasi pengelolaannya menggunakan pola syariah.
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) mempunyai landasan operasional yang tentu berbeda dengan koperasi simpan pinjam pada umumnya. Selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan yang berlaku dalam BMT ini kita dapat bebas untuk bermuamalah. Bentuk hasil usaha dalam BMT berupa sistem bagi hasil dan margin jual beli barang. Selain itu dalam BMT Uang bukan sebagai komoditi, tetapi hanya sebagai alat tukar. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dapat istiqomah di masyarakat jika modalnya cukup, manajemennya terorganisir dengan baik, pengelolanya amanah, professional, dan dapat dipercaya masyarakat, serta program berkelanjutan yang telah direncanakan dapat direalisasikan dengan sebaik-baiknya. Melihat keunggulan yang ditawarkan oleh Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), masyarakat khususnya petani akan lebih nyaman melaksanakan transaksi simpan pinjam. Baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun kebutuhan untuk melaksanakan kegiatan produksi pertaniannya.

Ketersediaan Pangan Petani Tetelan : Hasil Penelitian Sanenrejo (2)

Pada masyarakat pertanian khususnya di sekitar taman Nasional Meru Betiri, terdapat berbagai macam lembaga. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga pendampingan atau pelatihan, dan lembaga-lembaga pemberi modal. Setiap lembaga mempunyai peran dan fungsi tersendiri dalam masyarakat. Lembaga Tahlilan, Yasinan dan Dibaan misalnya, mempunyai fungsi yang lebih besar kearah fungsi kerukunan, dan fungsi keagamaan. Walaupun terkadang dalam lembaga ini terdapat fungsi informasi dan juga finansial, namun tidak sebesar lembaga-lembaga yang lain. Hal itu karena lembaga-lembaga ini lebih terfokus pada kedua fungsi tersebut diatas.
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, juga mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting dalam masyarakat petani. Khususnya peran sebagai lembaga pendamping masyarakat, yang berfungsi memberikan pelatihan-pelatihan, support informasi, maupun fungsi penyelesai permasalahan dalam masyarakat sebagai anggota kelompok tani. Selaiin itu, terdapat kelompok petani TOGA, dimana kelompok ini berperan dalam proses pengemasan hasil tanaman TOGA yang kemudian dipasarkan.
Kelompok PKK, lazimnya merupakan kelompok perkumpulan ibu-ibu yang sering mengadakan pertemuan setiap bulan sekali. Peran dari lembaga ini biasanya berperan sebagai lembaga penyalur informasi dan juga memberi pelatihan keterampilan bagi anggota-anggotanya. Terkadang dalam lembaga ini terdapat arisan atau tabungan, namun pada masyarakat petani tetelan, tidak berjalan dengan lancar. Hal ini hampir sama dengan lembaga yasinan dan tahlilan yang juga terkadang terdapat arisan dan tabungan, hanya saja pada masyarakat petani tetelan, mereka sering mengalami kekuarangan dana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan apalagi untuk arisan atau menabung. Akan tetapi, tiap desa mengalami perbedaan kemampuan finansial. Pada masyarakat Sanenrejo, tingkat perekonomian mereka rendah dan cenderung menengah kebawah. Bebrebda dengan masyarakat desa Curahnongko dan Andongrejo.
Selanjutnya, terdapat lembaga informal yang cenderung eksis dimasyarakat, yaitu kelompok pemilik modal dan pengepul/tengkulak. Lembaga ini mempunyai kelebihan dibanding dengan kelompok lainnya. Hampir di setiap wilayah pertanian di Indonesia dijumpai adanya pemilik modal dan tengkulak yang mengambil beberapa fungsi pengembangan di sektor pertanian secara informal. Fungsi-fungsi pengembangan sektor pertanian yang dimasuki oleh tengkulak dan pemilik modal tidak saja hanya pada fungsi finansial, tetapi banyak fungsi lainnya yang telah diambilnya, yakni :
1. Fungsi Produksi :
Pada fungsi produksi ini tengkulak dan pemilik mengambil peran sebagai penyedia faktor/ sarana produksi pertanian, seperti : menyediakan pupuk, benih, obat tanaman.
2. Fungsi Pemasaran :
Hasil panen tanaman jagung, kacang tanah, kacang ijo, maupun kacang tunggak, umumnya dibeli oleh pengepul/tengkulak atau pemilik modal yang kemudian oleh tengkulak dan pemilik modal disalurkan ke luar kota atau luar pulau dan juga ke pasar-pasar lokal.
3. Fungsi Finansial :
Segala kebutuhan finansial untuk terlaksananya kegiatan usaha penanaman tanaman, perawatan dan pemanenan senantiasa disediakan oleh tengkulak dan pemilik modal. Petani hampir dapat dikatakan bergantung pada tengkulak dan pemilik modal. Para tengkulak dan pemilik modal memberikan bantuan finansial tanpa syarat-syarat tertentu tidak seperti pada lembaga-lembaga keuangan (bank).
4. Fungsi Sosial :
Dikala terjadi musim paceklik atau saat panen tidak berhasil, dan ketika dalam kondisi mendesak, misalnya petani sudah kehabisan stok barang di rumah. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka banyak mengandalkan pada bantuan tengkulak dan pemilik modal. Bahkan agar dapur mereka bisa mengepul, mereka sering hutang ke pemilik modal ataupun tengkulak.
Hal menarik yang perlu dikemukakan disini adalah mengapa para petani cenderung tidak mau memanfaatkan lembaga keuangan formal (bank) ataupun koperasi, tetapi justru mengikatkan diri pada sistem yang dilakukan oleh tengkulak dan pemilik modal. Seolah-olah telah terjadi adanya ikatan lahiriyah dan batiniyah diantara kedua belah pihak. Apabila diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka peran yang dimainkan oleh lembaga keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan lainnya hanyalah terbatas pada peran finansialnya saja, itupun menurut petani memerlukan persyaratan yang memberatkan mereka. Di sisi lain, peran yang dimainkan oleh para tengkulak atau pemilik modal adalah meliputi keseluruhan peran (produksi, pemasaran, finansial dan sosial) yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat petani yang membuat mereka “rela” mengikatkan diri pada ikatan yang menimbulkan adanya kebergantungan dan daya tawar yang rendah.

Ketersediaan Pangan Petani Tetelan : Hasil Penelitian Sanenrejo (1)

Pola ketersediaan pangan pada masyarakat petani tetelan dapat dilihat berdasarkan dua aspek. Aspek yang pertama ditinjau berdasarkan musim. Berdasarkan musim, petani membaginya menjadi tiga yaitu musim rendeng/rendengan, kedua musim lemahrengan/lemareng/nemor dan yang ketiga yaitu musim kemarau/ketigo. Pada musim rendengan petani biasanya menanam padi dan jagung, karena intensitas hujan pada musim ini sangat sering maka memudahkan mereka untuk menanam kedua jenis tanaman ini. Selain itu, hasil dari musim ini biasanya lebih baik daripada musim yang lain, sehingga petani cenderung untuk menanam tanaman yang bisa menjadi persediaan hidup satu tahun kedepan.

Disatu sisi sebenarnya jenis tanaman yang ditanam tergantung jenis lahan yang dimiliki. Kondisi pada tanah tetelan tidak sama dengan tanah Ho/HGU, baik itu dari segi kesuburannya maupun tata letaknya. Kesemuanya itu mempengaruhi tingkat hasil panennya. Pada tanah tetelan hanya benar-benar bisa dimanfaatkan pada musim rendeng, sedangkan pada musim yang lain hasilnya jauh lebih berkurang. Terlebih lagi jika tanah tetelan sudah mulai rimbun dengan tanaman pokok/tanaman tegakan. Jika tanaman tegakan sudah mulai tinggi dan rimbun, maka sinar matahari tidak akan bisa menyinari tanaman-tanaman palawija yang ditanam oleh petani. Oleh karena itu, petani sering mengalami dilema yakni antara harus tetap menanam tanaman tegakan dengan konsekuensi tanaman palawija tidak terlalu menghasilkan lagi, atau bermain-main dengan pihak taman nasional dengan cara menanam tanaman tegakan namun dengan intensitas yang sedikit dan jarak yang agak jauh atau bahkan mencabut tanaman tegakan agar tidak tumbuh dengan baik.

Hasil dari musim rendeng yang berupa gabah biasanya disimpan untuk keperluan sehari-hari atau untuk keperluan satu tahun kedepan sampai musim rendeng berikutnya. Sedangkan hasil dari tanaman jagung biasanya dijual untuk membayar hutang, baik itu hutang benih, pupuk, obat dan sebagainya.
Pada musim lemareng/lemah rengan/nemor, petani biasanya menanam tanaman jagung, kacang broll (kacang tanah), kacang ijo, atau kacang tunggak (kacang panjang). Hasil dari musim ini biasanya dijual untuk membeli barang-barang kebutuhan yang diinginkan terutama barang-barang sekunder seperti televisi, sepeda motor dan sebagainya.
Selanjutnya pada musim kemarau/ketigo, kebanyakan petani menganggur, khususnya petani yang hanya mempunyai tanah tetelan saja. Pada musim ini, biasanya mereka hanya membersihkan tanah tetelan saja dan memetik hasil dari tanaman tegakan. Sedangkan untuk petani yang masih mempunyai HO dan sawah
Tanaman yang ditanam pada tanah tetelan
1. Musim rendengan (Tahap I) ditanami padi dan jagung
Tanah yang seluas ¼ ha ditanami dengan 5 kg gabah/padi seharga 15.000/atau 3000 /kg. biasanya para petani memakai benih hasil panen tahun lalu. Kemudian obat padi seharga 15.000 dan pupuk 2 sak, per sak seharga Rp. 90.000 jadi total harga pupuk Rp. 180.000. Total biaya yang diperlukan untuk biaya operasional adalah Rp. 210.000
Dari 5 kg padi tersebut menghasilkan 10 sak gabah atau sekitar 5 kwintal. 1 kw seharga Rp. 200.000, jadi total yang diperoleh sejumlah Rp. 1.000.000 itu didapatkan jika sedang panen (jika subur dan tidak terganggu hama). Jika tidak panen dia mendapat 2,5 kw atau senilai 500.000. Jadi jika sedang panen pendapatan bersihnya dari padi 1.000.000-210.000=790.000. Namun jika tidak panen pendapatan bersih dari padi 500.000-210.000= 290.000.
Sedangkan tanaman jagung (gandum) ditanam di krajakan (pematang atau dipinggir tanaman padi). Untuk krajakan Benih jagung yang ditanam sebanyak 1 kg, biasanya menghasilkan 1 kwintal jagung basah. Jika memakai benih jagung biasa/lokal yang harga perkilonya seharga Rp. 2000 maka akan menghasilkan jagung seharga Rp.200.000 sedangkan untuk biaya operasional seperti pupuk seharga 7500. Jadi untuk hasil dari krajakan bisa mendapat mendapat 192.500.
2. Musim Lemah Rengan/ Lemareng/Tahap 2
Pada musim ini intensitas hujan sudah mulai berkurang, atau kadar air tanah sudah mulai berkurang. Sehingga penduduk lebih sering menanam jagung, kacang hijau atau kacang tunggak.
Pada musim ini petani biasanya menanam benih jagung biasa atau jagung lokal, sebanyak 3kg seharga Rp. 6000. Untuk keperluan pemupukan biasanya memakai pupuk sebanyak 1 sak, seharga 90.000. Benih 3 kg bisa menghasilkan 5-6 kw jagung basah.
3. Musim Kemarau
Pada musim kemarau para petani tidak menanami tanah tetelannya, karena tanahnya kering. Biasanya pada musim ini para petani memanen hasil tanaman tegakannya, jika sudah berbuah.
Tanah HO/HGU
1. Musim Rendengan/Tahap 1, luas 1/8 (sa’wolon)
Pada musim Rendengan tanah Ho ditanami dengan benih padi 4 Kg yang menghasilkan 12 sak atau sekitar 6 kw. Biaya operasional menghabiskan pupuk 2 sak dan obat 1 botol. Karena tidak ada tanaman pokok maka hasilnya lumayan.
2. Tahap Kedua /Lemareng
Pada tahap ini biasanya tanah HO ditanami jagung dan kacang broll (kacang tanah). Jagung (gandum) sebanyak 3 kg dan kacang broll sebanyak 7 kg. 3 kg jagung biasanya menghasilkan 1 ton jagung. Sedangkan 1 kg kacang broll menghasilkan 2-3 kw.
3. Tahap ketiga
Pada tahap ini petani biasanya menanam kacang tunggak/kacang otok. Kalau bisa ngelep (mengairi lahan dengan air dari sumur bor) maka hasilnya lebih banyak. 1 kg benih bisa menghasilkan 50 kg. Hasil dari tanaman padi biasanya tidak pernah dijual. Umumnya disimpan untuk keperluan hidup sehari-hari sampai 1 tahun mendatang.

Review Premis Samuel P Huntington (part II)

Dalam bukunya yang berjudul The Clash Of Civilizations dan The Remaking Of The World Order, Samuel P Huntington (1996), menyebutkan sekurang-kurangnya ada 6 alasan yang ia pakai sebagai premis, untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban.

a). Review Terhadap Premis Huntington Yang Ketiga, Keempat dan Kelima

Dalam tulisannya tentang The Clash Of Civilizations (benturan antar peradaban), Huntington mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas : ”Menurut Hipotesis saya,, “sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya”. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”

Secara lebih luas, Huntington mendasarkan pemikirannya – paling tidak – pada enam alasan yang dijadikannya sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban.
Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, kesadaran peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi (Huntington, 2002:ix-x).

• Pada premis ketiga, Huntington mengatakan bahwa, proses modernisasi ekonomi dan perubahan social di seluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas local yang telah berlangsung lama. Ketercerabutan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalis”.
Ekspansi Barat mampu menawarkan modernisasi dan westernisasi bagi masyarakat-masyarakat non-barat. Tokoh-tokoh politik dan intelektual dari masyarakat tersebut memberikan reaksi terhadap pengaruh barat satu atau lebih cara : menolak modernisasi dan westernisasi, menerima modernisasi dan westernisasi, menerima yang pertama menolak yang kedua.
Reaksi masyarakat rehadap adanya modernisasi dan westernisasi bermacam-macam, diantaranya penolakan (rejectionisme). Jepang merupakan Negara yang hanya menerima bentuk-bentuk modernisasi tertentu, seperti penggunaan senjata api sedangkan agama Kristen, sangat dibatasi. Cina juga melakukan penolakan atas modernisasi dan westernisasi.
Kemalisme, merupakan bentuk reaksi masyarakat non barat terhadap modernisasi dan westernisasi yang dilakukan oleh barat. Bentuk ini mengatakan bahwa modernisasi dan westernisasi dibutuhkan dan perlu, bahwa kebudayaan pribumi tidak dapat disepadankan dengan modernisasi dan harus ditinggalkan atau dibuang, dan bahwa masyarakat harus sepenuhnya terbaratkan supaya dapat mengikuti arus modernisasi. Modernisasi dan westernisasi masing-masing saling menopang dan harus berjalan secara beriringan.
Reformisme. Penolakan terhadap modernisasi dan westernisasi menjadikan masyarakat yang terbelakang tenggelam di tengah-tengah kancah dunia modern. Di jepang terdapat Wakon, Yosei: “semangat Jepang, teknik barat”. Di Mesir, Muhammad Ali “berusaha melakukan modernisasi tanpa budaya eksesif westernisasi”.
Pada fase-fase awal perubahan, westernisasi menawarkan modernisasi. Pada fase-fase akhir, modernisasi menawarkan de-westernisasi dan kebangkitan kebudayaan pribumi melalui dua cara. Pada tataran social, modernisasi mendorong kea rah kemajuan dalam bidang ekonomi, militer dan politik dari suatu masyarakat secara keseluruhan dan membangkitkan keyakinan diri penduduk setempat terhadap kebudayaan mereka sendiri, sehingga secara cultural mereka percaya diri. Pada tingkatan individual, modernisasi menggerakkan perasaan terasing dan anomie, yang dapat melepaskan ikatan-ikatan tradisional dan hubungan-hubungan social serta mengantarkan pada KRISIS IDENTITAS yang jawabannya hanya dapat ditemukan dalam agama.




Modernisasi sebagai anak kandung reinasans di Eropa, bukan hanya menawarkan mekanisasi produksi untuk meningkatkan hasil ekonomi. Akan tetapi membawa paradigma mekanistik dalam memandang manusia. Sehingga mengantarkan manusia pada jurang dehumanisasi, dimana akar spiritual dicerabut pada kemanusiaan.
Sementara disisi lain, berdasar logika oposisi biner modern-tradisional, maju-terkebelakang, barat-timur, rasional-irasional dan dikotomi lainnya, budaya barat memposisikan non barat sebagai terkebelakang dan mesti dimodernisasi. Dari pintu inilah, westernisasi membonceng di modernisasi.
• Pada premis keempat, Huntington mengatakan bahwa semakin berkembangnya kesadaran peradaban akibat peran ganda dunia barat. Disatu sisi dunia barat sedang berada pada puncak kekuasaannya, disisi lain, sebagai reaksi balik dari hegemoni dunia barat tersebut, kembalinya masyarakat non barat pada akar-akar peradabannya.

Barat merupakan kekuatan yang dominan dan akan tetap menjadi kekuatan nomor satu serta paling berpengaruh di sepanjang abad ke 21. Perubahan-perubahan yang berifat gradual dan fundamental tampaknya juga terjadi di dalam peradaban-peradaban lain, sehingga kekuatan barat dihadapkan pada tantangan berbagai peradaban tersebut dan terus mengalami kemerosotan. Seiring dengan semakin merosotnya pengaruh barat, sebagian besar kekuatannya dengan sendirinya memudar dan masyarakat-masyarakat non barat mulai saling bersatu dengan berpijak pada landasan regional-peradaban masing-masing Negara.

Dominasi barat akan berakhir, dan sementara itu Negara-negara non barat sedang melakukan proses pribumisasi dan kebangkitan kebudayaan secara global. Ketika pengaruh barat mulai menurun, para tokoh muda yang penuh dengan semangat tidak alagi dapat melihat adanya jalan untuk meraih kesejahteraan dan kakayaan melalui barat. Mereka harus menemukan jalan menuju keberhasilan, dengan cara mengakomodasi nilai-nilai serta kebudayaan sendiri, di dalam masyarakat mereka sendiri.

Pada proses pribumisasi, generasi kedua bersikap lebih adaptif. Seperti Mohammad Ali Jinnah, harry Lee, dan Solomon Bandaranaike. Disaat sedang terjadi perubahan identitas-identitas: nama-nama dan cara berpakaian, kepercayaan-kepercayaan mereka kembali kepada nenek moyang mereka sendiri.

Dalam masyarakaat Islam, terkenal dengan kebangkitan islam dan re-islamisasi. Di India terdapat penolakan-penolakan terhadap bentuk-bentuk serta nilai-nilai barat, dan terjadi “hinduisasi” dalam kehidupan social politik. Di Asia Timur, kalangan pemerintah menawarkan konfusianisme, para tokoh politik dan kalangan intelektual berbicara tentang Asianisasi.

• Premis kelima, Karakteristik dan perbedaan cultural yang terjadi diantara peradaban barat dan non barat semakin mengeras. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya kompromi dan upaya-upaya perbaikan hubungan diantara perbedaan dan kerangka cultural dibandingkan upaya mengkompromikan karakteristik dan perbedaan politik serta ekonomi.

Ketika pengaruh barat mulai mengalami kemerosotan, Negara-negara di Asia menegaskan nilai luhur kebudayaannya atas kebudayaan barat. Mereka mengalami perkembangan kemajuan yang sering disebut dengan afirmasi Asia. Sikap-sikap yang kompleks ini memiliki empat komponen utama.

Pertama, masyarakat Asia, yakin bahwa Asia timur akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serta mampu melampaui barat. Karena bangsa Asia akan menjadi bangsa yang memiliki posisi yang kuat di tengah kancah dunia. Kedua, masyarakat Asia yakin bahwa keberhasilan ekonomi ini merupakan hasil kebudayaan Asia, yang lebih unggul dari barat. Ketiga, meskipun masyarakat Asia mengakui adanya perbedaan-perbedaan diantara mereka dengan perbedaan masing-masing, tetapi mereka juga mengakui terdapat kesamaan-kesamaan signifikan. Keempat, masyarakat Asia Timur berkeyakinan bahwa perkembangan yang terjadi di Asia dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat Asia serta berbagai pola kebijakan yang diterapkan oleh masyarakat non-barat lainnya digunakan untuk menandingi serta mengejar ketertinggalan dari barat yang harus diadopsi supaya dapat dilakukan pembaharuan.

Bagaimanapun juga, kita mengakui adanya perbedaan yang cukup mendasar antara barat dengan non-barat. Perbedaan tersebut, terlihat dari berbagai macam dimensi, seperti social, budaya, ekonomi dan juga politik. Perbedaan-perbedaan tersebut, tidak seyogyanya harus dianggap sebagai sebuah ancaman. Karena, sebenarnya apa yang dilakukan barat terhadap non-barat bukanlah semata-mata hegemoni budaya, namun lebih dari itu sebuah hegemoni kekuasaan yang sangat besar untuk menguasai Negara-negara non-barat.

b). Solusi Konkrit atas pemikiran atau kekhawatiran Huntington tersebut
Sebagai sebuah bangsa dan Negara yang memiliki cirri khas kebudayaan masing, maka yang terbaik adalah untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang kita yang mungkin saja jauh lebih baik dari budaya barat. Jika kita tidak ingin akar-akar identitas cultural kita tercerabut maka sebaiknya kita tetap berupaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai budaya local.

Adanya perbedaan budaya tidak kita pungkiri dari sejak dahulu kala. Perbedaan itu ada bahkan dimulai sejak manusia itu ada dan berbudaya. Upaya melakukan homogenisasi atas budaya bukanlah sebuah solusi yang saya anggap tepat, karena homogenisasi hanya akan menyebabkan bangkitnya budaya-budaya local masyarakat. Bagaimanapun juga masyarakat pasti akan tetap mempertahankan identitas cultural mereka, karena itu merupakan harga diri mereka.

Justeru yang perlu kita koreksi adalah, benarkah upaya modernisasi dan segala produknya yang dilakukan oleh barat semata-mata untuk kemakmuran semua bangsa? Tidakkah itu hanyalah sebuah media atau cara yang dilakukan oleh barat dalam rangka menghegemoni masyarakat non barat agar menjadi budak-budak mereka. Terlebih lagi modernisasi lebih membawa agenda ekonomi (kepentingan) dibandingkan upaya “peradaban”.

Saya, sulit sekali memberikan solusi untuk premis Huntington tersebut. Karena saya sendiri masih meyakini bahwa setiap bangsa, Negara dan juga masyarakat memiliki budaya tersendiri yang tak mungkin tersatukan. Hal lain yang justeru menurut saya sangat penting untuk dievaluasi adalah, apakah tujuan barat melakukan modernisasi? Mengapa ada imprealisme budaya? Mengapa harus ada westernisasi? Dimana kesemua hal itu justru menjadi pemiciu bagi bangkitnya nilai-nilai pribumi, seperti Revivalisme Islam, renaisans cultural, Hinduisme, Asianisme dan sebagainya. Seharusnya barat melakukan re-evalusi atas apa yang mereka lakukan selama ini, karena “ekspansi westernisasi dan modernisasi yang mereka lakukan lebih sebagai hegemoni dan politik kepentingan, daripada upaya memeradabkan suatu bangsa”. Perlu dianalisa mengenai asumsi dasar dari Huntington yang mengatakan factor utama penyebab benturan antara peradaban adalah masalah perbedaan kebudayaan, namun justeru menurut saya penyebab utamanya adalah konflik kepentingan yang dimotori oleh barat.

Oleh karena itu, hal yang paling penting adalah adanya pengahrgaan atas suatu budaya terhadap budaya lain, tanpa memaksakan masyarakat atau bangsa lain mengikuti tradisi budaya mereka “barat” yang dianggap lebih baik. Selain itu, kepentingan imprealisme budaya yang dilakukan oleh barat, harus disikapi dengan bijak oleh masyarakat non barat dengan tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya local dan akar-akar identitas mereka. Sehingga masyarakat non barat akan tetap mempunyai jati diri dan identitas yang mandiri tanpa “ikut-ikutan” budaya bangsa lain secara keseluruhan.
c). Apakah mekanisme “akulturasi” antar bangsa (etnis) akan mampu meredakan ketegangan-ketegangan sebagai akibat dari “benturan antar peradaban” yang dikhawatirkan oleh Huntington.
Seperti yang telah beruangkali diuraikan diatas, bahwa setiap masyarakat, bangsa dan juga Negara memiliki karakterisktik budaya yang berbeda, dan itu mereka identitas mereka. Sehingga sangat sulit sekali untuk melakukan apa yang dikenal dengan homogenitas budaya.
Setiap orang memiliki keseberagaman identitas yang dapat mengikat dan memperkuat hubungan anatara satu dengan yang lain, asal usul, tempat tinggal, pendidikan, golongan, kesamaan cultural, institusional, territorial, ideologis dan sebagainya. Oleh karena itu, homogenitas budaya, dan keterikatan hubungan hanya bisa dilakukan secara parsial. Karena sangat sulit sekali untuk melakukan homogenitas cultural secara universal. Terlebih di zaman ini, adalah sulit sekali untuk memaksakan suatu kehendak terhadap orang lain. Karena persoalan iidentitas memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang.
Yang perlu dilakukan saat ini menurut saya, adalah bahwa setiap Negara harus mengahargai budaya orang lain dengan tidak menganggap bahwa budayanyalah yang lebih tinggi sehingga harus diterima dan diadopsi oleh masyarakat, bangsa atau Negara lain. Selama hal itu dilakukan, maka benturan antar peradaban tidak akan terjadi.
Melakukan akulturasi budaya memang sebuah solusi. Namun, yang paling penting dari semua itu adalah penghargaan terhadap nilai-nilai budaya lain. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Huntington sendiri dalam bukunya:
“Pelbagai perbedaan yang terdapat dalam ideologi-ideologi sekuler, antara marxis-leninisme dan demokrasi liberal, setidak-tidaknya dapat dinegosiasikan dan tidak jarang dikompromikan. Hal itu, dalam konteks persoalan-persoalan cultural tidak mungkin dapat dilakukan. Umat Hindu dan Muslim di Ayodhya dihadapkan pada persoalan mengenai pada apakah mereka harus membangun sebuah kuil atau masjid, yang kemudian mendapat alternative pemecahan dengan cara membangun keduanya, atau tidak membangun keduanya, atau sebuah bangunan sinkretis sebuah masjid sekaligus kuil.” (Huntington, 2002:226).

Benturan Peradaban Pemikiran SAMUEL P. HUNTINGTON (part 1)

Heterogenitas kultural (culture dominan) berasumsi bahwa globalisasi kapitalisme konsumer akan mendorong hilangnya keragaman budaya. Intinya meningkatnya kesamaan budaya akan menghapuskan otonomi budaya akibat imprealisme kultural
Pesatnya perkembangan sistem kapitalisme di berbagai belahan dunia telah mengkonstruksi sebuah situasi dimana para pelaku usaha bisa dengan sangat bebas melakukan inovasi dan pengembangan terhadap usahanya. Beberapa perusahaan bahkan bisa berkembang hingga menjadi perusahaan yang sangat besar dan mampu menguasai pangsa pasar usaha mereka di negara tersebut. Ketika perusahaan-perusahaan tersebut semakin berkembang besar, dan atau muncul perusahaan kompetitor baru yang juga pesat perkembangannya, perusahaan tersebut akan “merasa” bahwa tempat mereka berusaha sudah menjadi terlalu “sempit” bagi perkembangan usaha. Mereka pun akan mencoba mencari pangsa pasar baru dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Jika dalam usaha ekspansi ini banyak pihak antarnegara yang dilibatkan sehingga menciptakan perdagangan antarnegara, maka terjadilah perdagangan global.
Pada pihak yang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak yang sangat signifikan terhadap cara hidup dan peradaban manusia. Banyak hal telah ditemukan dan banyak penemuan telah disempurnakan sebagai upaya untuk mempermudah kehidupan manusia. Kemajuan yang paling pesat dan paling terasa dampaknya adalah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan bidang ini telah membawa manusia pada sebuah era peradaban baru, dimana segala persoalan komunikasi dan sharing informasi telah menjadi hal yang tidak terlalu dirisaukan lagi karena adanya evolusi cara dalam berkomunikasi. Saat ini setiap orang di dunia dengan mudah berhubungan dengan orang lain walaupun jarak yang memisahkan mereka sangat jauh. Setiap orang di dunia juga bisa saling terhubung 24 jam dan bisa bertukar ribuan byte informasi dengan hanya memencet tombol-tombol ataupun berbicara melalui mokrofon. Sebuah informasi yang sama juga bisa diakses dan diketahui oleh jutaan manusia pada waktu bersamaan tanpa adanya kesulitan sehingga seakan-akan sudah tidak ada lagi sekat-sekat yang memisahkan manusia dengan manusia yang lain. Terjadilah globalisasi informasi.
Secara umum, globalisasi bukanlah sebuah ide yang buruk. Banyak kemudahan-kemudahan yang akan didapatkan oleh manusia melalui globalisasi, mulai dari kemudahan akses informasi dan komunikasi, layanan perbankan, akses hiburan, dan sebagainya. Selain itu, komunikasi dan persahabatan antarmanusia antarnegara akan semakin terbentuk dan bisa semakin memperkuat ikatan yang mengesampingkan perbedaan tersebut. Akan tetapi, globalisasi ternyata memiliki kecenderungan untuk menciptakan sebuah situasi dimana suatu budaya yang mengglobal akan mendominasi budaya lokal.
Globalisasi membuka kesempatan bagi penyeragaman (homogenisasi) budaya yang mengakibatkan produk budaya global mengalahkan produk budaya lokal. Globalisasi terjadi atas dukungan kemajuan teknologi. Teknologi sendiri dalam hal ini sebenarnya merupakan sebuah simbol modernitas. Sampai pada titik ini sebenarnya bisa dipahami mengapa banyak orang lebih suka menkonsumsi produk globalisasi daripada produk lokal. Sepertinya ada sebuah identitas yang coba diraih oleh para konsumen tersebut: jika ingin modern, maka gunakanlah produk-produk hasil dari modernitas. Di sisi lain, karena globalisasi juga menyebarkan trend-trend populer yang dianggap “gaul” atau kekinian, perkembangan budaya populer tampaknya juga mempengaruhi perilaku tersebut.
Jika kita melupakan adanya kecenderungan homogenisasi yang terjadi pada setiap proses globalisasi, maka bisa saja kita kehilangan apa yang kita miliki sebagai identitas budaya. Sekilas homogenisasi membuat setiap orang melupakan segala perbedaannya karena memang ketidakseragaman yang terjadi pada akhirnya melebur, sehingga menyebabkan seakan semuanya bersatu untuk menjadi satu indentitas. Namun, jika hal ini kita dukung sepenuhnya, maka kita akan benar-benar kehilangan identitas sejati kita.
Dalam konteks produk budaya, homogenisasi bisa berakibat akan terpinggirkannya atau hilangnya produk-produk budaya lokal karena dominasi dari produk budaya global. Semua pihak haruslah sadar akan sisi negatif dari homogenisasi budaya. Tanpa kesadaran ini, mustahil kita bisa mengatasi gempuran budaya global yang mengikis budaya lokal. Yang jadi permasalahan adalah ternyata masih banyak anggota masyarakat kita yang belum sadar, dan kebanyakan kalangan anak muda kita justru menjadi pendukung—secara langsung maupun tidak—produk-produk budaya global.
Namun, mengutip perkataan dari seorang ilmuan Prancis, Michel Wivieorka, pada sebuah acara Stadiun general di Gedung Kahuripan Kampus C Universitas Airlangga, bulan Maret tahun 2011: bahwa “McDonals ada dimana-mana di seluruh dunia, namun tidak semua orang makan McDonals”.
Adanya budaya baru dari barat tidak sepenuhnya akan menghilangkan budaya local. Sekali lagi mengutip ucapan Michel Wivieorka, bahwa ketika “globalisasi semakin memperdalam cengkeramannya, maka masyarakat berusaha melakukan apa yang dia sebut sebagai glokalisasi”. Demikian pula yang dikatakan oleh Huntington dalam bukunya Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia (2002: 12, 8-9): “sebagian masyarakat-masyarakat non barat, berusaha menandingi barat dan berjuang mengejar ketertinggalan mereka dari barat….Masyarakat-masyarakat non barat, terutama masyarakat Asia Timur, mengembangkan kekayaan ekonomi mereka serta menciptakan basis kekuatan militer dan politik. Seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan dan keyakinan diri, mereka semakin memantapkan nilai-nilai budaya mereka sendiri dan menolak segala “pemaksaan” yang dilakukan oleh barat terhadap mereka”.
Dalam bab III juga Huntington, mengatakan bahwa “ Lahirnya sebuah dunia yang didasarkan pada tatanan yang berlandaskan peradaban, masyarakat-masyarakat yang memiliki afinitas-afinitas cultural saling bekerja sama antar satu dengan yang lain, upaya untuk menggantikan peradaban suatu masyrakat dengan peradaban lain senantiasa tidak berhasil, dan masing-masing Negara saling bertumpu pada peradaban mereka sendiri”. (Huntington, 2002: 6)
Oleh karena itu, sekalipun ada upaya homogenisasi budaya, maka akan selalu ada upaya dari masyarakat “lain” sebagai tujuan dari upaya homogenisasi tersebut untuk melakukan upaya-upaya penolakan. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali Jinnah, Harry Lee dan Solomon Bandaranaike. Mereka melakukan “pribumisasi-diri” di tengah-tengah masyarakat mereka. Bahkan gerakan pribumisasi seolah-olah telah menjadi mode di seluruh dunia non barat. Dalam masyarakat Islam terkenadal dengan gerakan “Re-islamisasi”, di India terdapat kecenderungan melakukan penolakan terhadap bentuk-bentuk serta nilai-nilai barat dan telah terjadi “Hinduisasi” dalam kehidupan social politik. Di Asia timur, kalangan pemerintah menawarkan konfusianisme, para tokoh poltik dan kaum intelektual berbicara tentang “Asianisasi”.
Berbagai macam upaya penolakan yang dilakukan oleh masyarakat non-barat terhadap globalisasi, westernisasi maupun modernisasi telah mencapai bentuk yang sangat beragam. Westoksikasi atau penolakan masyarakat non-barat adalah sebuah deklarasi independensi cultural dari pengaruh barat, suatu pernyataan bahwa “kami akan menjadi modern, tetapi akami tidak akan seperti anda”.(Huntington, 2002:166)
Jadi, homogenisasi budaya atau imprealisme budaya bisa mempengaruhi masyarakat baik pada pola hidup, pola perilaku, cara makan, selera makan, cara berpakaian, dan bahkan pemikiran masyarakat, namun upaya-upaya “westoksikasi” akan terus selalu ada sehingga pluralism budaya tidak akan hilang begitu saja.

footer Post 2